JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia hingga kini belum memanfaatkan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik, meski peluangnya sudah masuk dalam rencana besar energi nasional.
Pemerintah mulai melirik potensi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) setelah memasukkannya dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) melalui Keputusan Menteri ESDM 8/2025. Saat ini, sejumlah aspek masih dikaji, mulai dari lokasi PLTN, analisis untung-rugi, hingga negara mitra potensial.
"Tempatnya sedang kami evaluasi. Kami mesti hati-hati," ujar Penasihat Presiden Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro, di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Menurut Purnomo, penerimaan publik menjadi salah satu faktor paling krusial. Ia mencontohkan rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria, Jepara, yang batal karena penolakan warga setempat.
"Jadi, enggak gampang. Public acceptance itu penting sekali," tutur Purnomo.
Pemerintah menghitung untung-rugi pembangunan PLTN melalui analisis manfaat dan biaya (benefit-cost analysis), termasuk memasukkan keuntungan tidak kasat mata (intangible) yang mempengaruhi keberlanjutan proyek.
Selain faktor teknis dan ekonomi, memilih negara mitra juga memerlukan pertimbangan geopolitik yang matang.
Baca juga: PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
"Arahan presiden (terkait energi nuklir) itu sifatnya strategis. Ya, waktu kami diminta, kami juga jelaskan. Ini kriterianya dan lain sebagainya. Tapi, ujung-ujungnya apa? Geopolitik. Jadi, pilihan itu kaitannya dengan geopolitik," ucapnya.
Purnomo menyampaikan bahwa timnya telah menyerahkan laporan kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai tujuh negara potensial untuk kerja sama PLTN, yaitu Rusia, Amerika Serikat, Jepang, China, Jerman, dan Korea Selatan.
"Jadi, kata kuncinya dari tujuh negara itu, geopolitiknya bagaimana? Apakah mau pakai BRICS atau enggak? Geopolitik ini kami enggak bisa mengatur," ujarnya.
Purnomo menegaskan bahwa Indonesia berupaya memanfaatkan transisi energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama masa transisi, eksplorasi dan produksi energi fosil tetap berjalan dengan syarat menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Di saat bersamaan, pemerintah terus mendorong pengembangan energi nonfosil seperti air, surya, angin, panas bumi, bioenergi, hidrogen, dan nuklir.
"Kemudian non fosil ya, air, surya, angin, panas bumi terus digalakkan ya, baik energi, hidrogen, nuklir dan lain sebagainya, karena dia mempunyai multiplier effect," tutur Purnomo.
Baca juga: PLTN Jadi Opsi Strategis Transisi Energi, Pendanaan Jadi Tantangan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya