Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisnis Hijau Belum Massif di Indonesia, GRI Ungkap Sebabnya

Kompas.com - 09/05/2025, 17:31 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — GRI Regional Program Manager ASEAN, Lany Harijanti, menyebut lemahnya dukungan kelembagaan dari pemerintah sebagai penyebab utama bisnis keberlanjutan di Indonesia belum berkembang pesat.

Berbeda dengan Singapura dan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam membangun ekosistem yang mendorong UMKM menjalankan praktik bisnis berkelanjutan.

Hal ini ia sampaikan dalam acara Lestari Forum 2025 bertema “Sustainable Ecosystem Starts with SME–Corporate Collaboration” yang digelar Kamis (8/5/2025) di Menara Kompas, Jakarta Pusat.

"Bisa dikatakan, saat ini kita masih jalan, tapi mereka sudah lari," ujar Lany, membandingkan laju transisi bisnis hijau di Indonesia dengan negara-negara tetangga.

Di Filipina, Lany menjelaskan, pemerintah berperan aktif dalam mendukung UMKM hijau. Kementerian Perdagangan di sana turun langsung memberikan pendampingan hingga menyediakan konsultan yang paham pelaporan keberlanjutan.

“Di tingkat provinsi, pejabat setempat bahkan sudah dilatih untuk mendampingi proses ini secara sistematis,” jelasnya.

Sementara itu, pemerintah Singapura memberikan hibah besar kepada Business Development Services (BDS) yang mendukung UMKM. Dukungan ini merupakan bagian dari Singapore Green Deal, strategi nasional untuk menciptakan transformasi hijau lintas sektor.

“BDS di sana betul-betul diberi support untuk meningkatkan kapasitas UMKM,” ujar Lany.

Di Indonesia, perhatian pemerintah dinilai masih terbatas pada UMKM ekspor. Program pengembangan yang dulu ada di bawah Kementerian Perdagangan sejak 2018 tidak menjangkau semua pelaku usaha.

Namun, sejak pandemi dan perubahan kewenangan ke Kementerian Koperasi dan UKM, mulai muncul kolaborasi informal, salah satunya bersama GRI.

“Kami mulai sering diundang dalam berbagai acara UMKM untuk memberi edukasi soal bisnis berkelanjutan dan pelaporannya,” ujarnya.

Meski begitu, ia menekankan perlunya sistem yang lebih kuat dan regulasi yang jelas agar dampaknya bisa lebih luas.

“Harapannya, praktik bisnis sustainability ini bisa masuk dalam lembaga atau kerangka regulasi yang jelas agar dampaknya lebih luas dan terukur,” tutup Lany.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau