Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal “Ugly Fruit”, Si Buruk Rupa yang Punya Peluang Ekonomi di Tanah Air

Kompas.com - 18/11/2024, 22:24 WIB
Sri Noviyanti,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Buah-buahan segar dengan warna cerah dan bentuk mulus kerap menjadi pilihan utama di pasar. Namun, tahukah Anda bahwa banyak buah tidak pernah sampai ke meja makan hanya karena penampilannya yang dianggap kurang sempurna?

Buah-buahan dengan tampilan tak sempurna tersebut, mulai dari bentuk, ukuran, hingga warna, dinilai sebagai buah “cacat” atau imperfect. Buah-buahan ini juga dikenal dengan istilah ugly fruit.

Meski rasa dan kandungan gizinya sama dengan buah "sempurna", produk ugly fruit sering kali ditolak pasar dan akhirnya terbuang. Padahal, jika dikelola dengan baik, ugly fruit menyimpan potensi besar, baik dari sisi ekonomi maupun keberlanjutan lingkungan.

Baca juga: Produk Tabir Surya Inovasi Mahasiswa UB dari Bahan Limbah Buah Ini

Data World Fruit Map (2023) mencatat, Indonesia menghasilkan sekitar 24,9 juta ton buah segar per tahun Bahkan, menjadikannya produsen buah segar terbesar kedelapan di dunia. [Kompas.id, 17 Juli 2023]

Sayangnya, hasil riset Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Indonesia kehilangan 23–48 juta ton makanan yang terbuang (food loss and waste/FLW) per tahun sejak 2000–2019. Adapun buah menempati urutan kedua, dengan proporsi 20 persen.

“Besarnya dampak food loss memengaruhi tingkat pengolahan, pemurnian produk makanan, serta tahap (hulu atau hilir) dalam rantai pasokan makanan. Hal itu menyebabkan kuantitas dan kualitas makanan menjadi hilang,” kata Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP/ROAF) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari dalam diskusi daring bertajuk “Reduction of Food Loss onn Tropical Fruits”, Jumat (3/6/2022).

Dampak lingkungan

Buah-buahan yang dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan gas metana, yang 25 kali lebih berpotensi mempercepat pemanasan global dibanding karbon dioksida. Selain itu, cairan lindi dari sampah organik mencemari tanah dan air di sekitarnya.

Baca juga: Sayurbox dan FoodCycle Indonesia Sepakat Kurangi Limbah Pangan

Padahal, jika dikelola dengan baik, buah-buahan imperfect dapat menjadi produk bernilai tinggi.

Di Tanah Air, beberapa organisasi telah hadir untuk mewadahi penyaluran bahan makanan “imperfect” dan sisa pangan layak konsumsi. Misalnya, Surplus, Garda Pangan, Foodbank of Indonesia, dan Foodbank Bandung. Namun, langkah ini belum masif.

Negara-negara seperti Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, berhasil memanfaatkan ugly fruit dengan strategi bisnis inovatif.

Kampanye Inglorious Fruits and Vegetables dari Intermarché di Prancis, misalnya, menawarkan buah-buahan ini dengan harga 30 persen lebih murah atau mengolahnya menjadi produk turunan, seperti jus dan sup.

Di Inggris, layanan Oddbox mendistribusikan ugly fruit langsung ke pelanggan, sedangkan Imperfect Produce di Amerika Serikat menjalankan model serupa.

Buah stroberi yang tidak lolos sortir etalase supermarket karena bentuknya yang dianggap tak sempurna.SHUTTERSTOCK/AB-7272 Buah stroberi yang tidak lolos sortir etalase supermarket karena bentuknya yang dianggap tak sempurna.

Peluang dan tantangan

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengadaptasi model bisnis seperti itu. Namun, ada beberapa tantangan yang harus diatasi.

Pertama, persepsi publik. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih memandang buah "jelek" sebagai produk berkualitas rendah. Stigma ini menjadi hambatan utama bagi petani atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk memasarkan ugly fruit.

Baca juga: 30 Persen Produksi Buah Indonesia Terbuang Sia-sia, Ini Strategi BRIN

Kedua, tidak semua petani atau distributor memiliki akses ke fasilitas pengolahan untuk mengolah ugly fruit menjadi produk turunan bernilai tambah.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau