JAKARTA, KOMPAS.com - Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Air, Retno Marsudi, mengungkapkan infrastruktur, teknologi dan investasi menjadi tantangan air bersih global.
Menurut dia, infrastruktur air mulai dari pipa, mata air, bendungan hingga jaringan distribusi merupakan tulang punggung akses terhadap air. Namun di banyak wilayah dunia, hal tersebut masih tidak memadai, rapuh, bahkan tak ada sama sekali.
"Secara global, diperkirakan sekitar 30 persen air yang sudah diolah hilang akibat kebocoran. Di beberapa kota, angkanya bahkan mencapai 50 persen," ujar Retno dalam Indonesia International Sustainability Forum di Jakarta Pusat, Jumat (10/10/2025).
Infrastruktur, lanjut dia, seharusnya tahan terhadap perubahan iklim, inklusif, dan terintegrasi dengan sistem alam. Lahan basah, akuifer, dan daerah aliran sungai juga merupakan bagian dari infrastruktur yang wajib dijaga.
Baca juga: Dari Krisis ke Harapan, Warga Oenenu Selatan Kini Nikmati Air Bersih Berkat Energi Surya
Retno menyebutkan, perbaikan infrastruktur memerlukan pembiayaan, inovasi, serta kerja sama termasuk dengan sektor swasta.
"Kedua, teknologi. Kita masih menemukan bahwa di banyak sektor air kita masih bergantung pada sistem yang usang dan data yang terfragmentasi," papar Retno.
"Kita perlu memperluas penggunaan alat manajemen smart water, mulai dari sensor yang dapat mendeteksi kebocoran," imbuh dia.
Lainnya, memantau kualitas air dan prakiraan berbasis satelit yang membantu petani maupun lembaga penyedia layanan air mengantisipasi kekeringan. Kendati teknologi untuk air bersih sangat terjangkau, beberapa kelompok justru masih belum mendapatkan akses.
"Itulah sebabnya kerja sama dan kemitraan termasuk dengan sektor swasta menjadi sangat penting. Pada saat yang sama, kita harus memastikan bahwa solusi teknologi berpusat pada manusia," ucap Retno.
Investasi di sektor air menghadapi kesenjangan yang besar. Retno mencatat, kebutuhan investasi untuk penyediaan air dan sanitasi diperkirakan mencapai 600-1.000 miliar dolar AS per tahun. Sementara, pendanaan yang tersedia saat ini hanya sekitar 300-400 miliar dolar AS per tahun, meninggalkan kesenjangan investasi tahunan sebesar 300-600 miliar dollar AS.
Baca juga: Analisis Temukan Jutaan Bangunan Global Berada di Zona Risiko Kenaikan Air Laut
Bank Dunia menyatakan, negara-negara berkembang hanya mengalokasikan sekitar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk infrastruktur air. Secara global, hampir 91 persen dari pengeluaran tahunan di sektor air masih berasal dari sektor publik.
"Air sering kali dipandang sebagai sektor berisiko tinggi dengan imbal hasil rendah, namun pandangan itu salah. Karena berinvestasi di sektor air memberikan hasil yang besar, tidak hanya bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bagi kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, dan ketahanan terhadap perubahan iklim," papar dia.
Di Afrika, Bank Dunia menyoroti setiap 1 dollar yang diinvestasikan di sektor air menghasilkan imbal hasil hingga 7 dollar AS. Oleh karena itu, ia berpandangan investasi pada air harus terus diperkuat.
"Antara lain melalui pembiayaan campuran sambil tetap menjaga, sekali lagi, kepentingan publik. Jangan pernah lupa untuk selalu menjaga kepentingan publik," sebut Retno.
Dia lalu menegaskan bahwa air erat kaitannya dengan isu perubahan iklim, kesehatan, ketahanan pangan, energi, maupun migrasi. Memperbaiki pengelolaan air berarti mendorong tercapainya tujuan yang lebih luas untuk dunia yang adil serta berkelanjutan.
"Setiap anak yang meminum air bersih, setiap petani yang mampu mengairi lahannya, dan setiap komunitas yang berhasil bertahan dari kekeringan, adalah pengingat tentang apa yang mungkin tercapai ketika kita berinvestasi untuk masa depan bersama," ucap dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya