JAKARTA, KOMPAS.com — Laporan terbaru Asia Research & Engagement (ARE) menunjukkan bahwa kebijakan dekarbonisasi sektor perbankan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN.
Meski sejumlah bank nasional sudah meningkatkan transparansi dan tata kelola iklim, komitmen terhadap pembatasan pembiayaan bahan bakar fosil dinilai belum seambisius bank-bank di Malaysia, Thailand, maupun Filipina.
Dalam laporan berjudul “Bridging the Gap: Have ASEAN Banks Caught Up on Climate Action?” ARE menilai 14 bank terkemuka di empat negara — Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Baca juga: GCCA Perluas Keanggotaan Demi Dorong Dekarbonisasi Global Industri Semen dan Beton
Hasilnya, hanya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang telah menetapkan target emisi net-zero pada 2050, satu dekade lebih awal dari target nasional Indonesia.
“Bank-bank ASEAN mencatat kemajuan signifikan, dari tata kelola yang lebih kuat hingga komitmen net-zero, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan. Kami mendorong agar perbankan di kawasan ini mempercepat transisi menuju ASEAN rendah karbon,” kata Ben McCarron, Founder dan Managing Director ARE, dalam keterangan tertulis, Kamis (9/10/2025).
ARE menilai, sistem perbankan Indonesia sebenarnya semakin matang dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko iklim. Namun, kebijakan dekarbonisasi yang mengikat dan memiliki tenggat waktu masih terbatas.
Dalam penilaian tahun 2025, Indonesia mencatat skor 50 persen untuk tata kelola, 83 persen untuk manajemen risiko, 75 persen untuk peluang pembiayaan hijau, dan hanya 17 persen untuk kebijakan — menghasilkan skor rata-rata tematik sebesar 53 persen.
Sebagian besar bank besar Indonesia kini memiliki pengawasan keberlanjutan di tingkat dewan dan telah mengadopsi prinsip Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD).
Mereka juga mulai melaporkan emisi pembiayaan dengan metodologi Partnership for Carbon Accounting Financials (PCAF). Namun, belum ada satu pun bank di Indonesia yang memiliki rencana penghentian pembiayaan bagi proyek PLTU baru.
Sebaliknya, sejumlah bank di negara lain di kawasan sudah lebih progresif. KBank dan Siam Commercial Bank (SCB) di Thailand, BDO Unibank dan Bank of the Philippine Islands (BPI) di Filipina, serta Maybank, CIMB, dan Hong Leong Bank (HLB) dari Malaysia telah memiliki jadwal penghentian pembiayaan PLTU baru.
Bahkan, Maybank dan CIMB menargetkan penghentian seluruh pembiayaan batu bara secara bertahap hingga 2040, sementara HLB sudah menolak semua pendanaan baru untuk proyek listrik batu bara sejak 2023.
Baca juga: Pangkas Emisi Sektor Industri, Pemerintah Buat Roadmap Dekarbonisasi
ARE memperingatkan bahwa tanpa kebijakan yang lebih tegas, bank-bank di Indonesia berisiko tertinggal dalam mendukung transisi energi dan pencapaian target emisi nol bersih pada 2050.
“Ujian berikutnya bagi bank-bank Indonesia adalah memimpin dalam dekarbonisasi, menghentikan pembiayaan batu bara, dan memperluas dukungan untuk pembiayaan transisi energi,” tulis laporan tersebut.
Menurut ARE, bank yang mengambil peran sebagai pemimpin aksi iklim akan memperoleh sejumlah manfaat seperti peluang pembiayaan yang lebih luas di sektor energi bersih, risiko bisnis yang lebih rendah di sektor karbon tinggi, serta peningkatan reputasi dan kepercayaan investor.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya