KOMPAS.com-Studi yang dipimpin McGill University di Kanada menemukan kenaikan permukaan air laut dapat membuat lebih dari 100 juta bangunan di negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin (Global South) berisiko mengalami banjir rutin.
Studi ini diterbitkan dalam jurnal npj Urban Sustainability.
Riset ini merupakan evaluasi mendalam pertama yang mengukur dampak kenaikan air laut permanen terhadap infrastruktur di wilayah pesisir Afrika, Asia Tenggara, serta Amerika Tengah dan Selatan, dengan menganalisis setiap unit bangunan.
Tim menggunakan citra satelit dan data ketinggian untuk memproyeksikan jumlah bangunan yang akan terendam banjir secara permanen pada skenario kenaikan permukaan air laut yang berbeda dalam jangka waktu ratusan tahun.
"Kenaikan permukaan air laut adalah dampak pemanasan global yang berlangsung lambat namun pasti. Dampaknya sudah dirasakan masyarakat pesisir dan akan berlanjut selama ratusan tahun," kata Prof. Natalya Gomez, dari McGill University.
Baca juga: Meski Daratan Hilang Akibat Kenaikan Air Laut, Status Negara Harus Tetap Diakui
"Biasanya orang menyebut kenaikan air laut hanya dalam skala puluhan sentimeter atau satu meter. Namun, faktanya, permukaan laut dapat terus meningkat hingga beberapa meter jika kita tidak segera menghentikan penggunaan bahan bakar fosil," terangnya lagi seperti dikutip dari Phys, Jumat (3/10/2025).
Penelitian ini menganalisis skenario kenaikan air laut mulai dari 0.5 hingga 20 meter.
Ditemukan bahwa, pada kenaikan sekecil 0.5 meter yang diperkirakan tercapai meski kita sukses memangkas emisi secara signifikan, sekitar tiga juta unit bangunan berpotensi tenggelam.
Namun, dalam skenario kenaikan lima meter ke atas yang mungkin terjadi dalam beberapa abad jika emisi terus berlanjut, tingkat kerentanan meningkat drastis, menempatkan lebih dari 100 juta bangunan dalam bahaya.
Sebagian besar bangunan ini berlokasi di kawasan padat penduduk dan rendah. Konsekuensinya, seluruh lingkungan tempat tinggal dan prasarana krusialseperti pelabuhan, kilang minyak, dan situs bersejarah akan terkena dampak kenaikan permukaan air laut.
"Kami terkejut betapa banyaknya bangunan yang terancam hanya oleh kenaikan air laut jangka panjang yang tidak terlalu ekstrem," papar Prof. Jeff Cardile , salah satu penulis pendamping studi dari McGill University.
"Beberapa negara di kawasan pesisir jauh lebih berisiko daripada yang lain. Hal ini disebabkan oleh faktor topografi spesifik wilayah pantai mereka dan letak bangunan di sana," katanya.
Para ilmuwan menegaskan bahwa temuan ini memberikan informasi krusial yang dapat digunakan oleh perencana kota, pengambil keputusan, dan masyarakat dalam membuat strategi untuk mengantisipasi kenaikan permukaan laut yang sudah pasti terjadi.
Baca juga: Kenaikan Permukaan Air Laut Bisa Jadi Bencana, meski Target 1,5°C Tercapai
"Setiap dari kita akan terkena dampak oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut, baik kita tinggal di dekat laut atau tidak," ungkap Eric Galbraith, profesor lain yang terlibat dalam studi.
"Kita semua bergantung pada barang, makanan, dan bahan bakar yang melalui pelabuhan dan infrastruktur pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Gangguan terhadap infrastruktur penting ini dapat menimbulkan kekacauan pada ekonomi dan sistem pangan global yang saling terhubung," terangnya.
Peta interaktif dari penelitian ini, yang dapat diakses publik melalui Google Earth Engine, memberi pengambil kebijakan kemampuan untuk melihat secara langsung kawasan mana yang paling rentan.
Informasi ini sangat penting untuk merumuskan strategi adaptasi iklim, termasuk pembangunan tembok laut atau tanggul, modifikasi perencanaan tata guna lahan, atau, bahkan, pemindahan penduduk secara terencana.
"Kita pasti akan menghadapi kenaikan air laut pada tingkat moderat. Oleh karena itu, semakin awal masyarakat pesisir mulai menyusun rencana adaptasi, semakin baik prospek mereka untuk tetap bertahan dan makmur," tambah Maya Willard-Stepan, penulis utama studi ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya