Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis Temukan Jutaan Bangunan Global Berada di Zona Risiko Kenaikan Air Laut

Kompas.com, 4 Oktober 2025, 15:45 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com-Studi yang dipimpin McGill University di Kanada menemukan kenaikan permukaan air laut dapat membuat lebih dari 100 juta bangunan di negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin (Global South) berisiko mengalami banjir rutin.

Studi ini diterbitkan dalam jurnal npj Urban Sustainability.

Riset ini merupakan evaluasi mendalam pertama yang mengukur dampak kenaikan air laut permanen terhadap infrastruktur di wilayah pesisir Afrika, Asia Tenggara, serta Amerika Tengah dan Selatan, dengan menganalisis setiap unit bangunan.

Tim menggunakan citra satelit dan data ketinggian untuk memproyeksikan jumlah bangunan yang akan terendam banjir secara permanen pada skenario kenaikan permukaan air laut yang berbeda dalam jangka waktu ratusan tahun.

"Kenaikan permukaan air laut adalah dampak pemanasan global yang berlangsung lambat namun pasti. Dampaknya sudah dirasakan masyarakat pesisir dan akan berlanjut selama ratusan tahun," kata Prof. Natalya Gomez, dari McGill University.

Baca juga: Meski Daratan Hilang Akibat Kenaikan Air Laut, Status Negara Harus Tetap Diakui

"Biasanya orang menyebut kenaikan air laut hanya dalam skala puluhan sentimeter atau satu meter. Namun, faktanya, permukaan laut dapat terus meningkat hingga beberapa meter jika kita tidak segera menghentikan penggunaan bahan bakar fosil," terangnya lagi seperti dikutip dari Phys, Jumat (3/10/2025).

Penelitian ini menganalisis skenario kenaikan air laut mulai dari 0.5 hingga 20 meter.

Ditemukan bahwa, pada kenaikan sekecil 0.5 meter yang diperkirakan tercapai meski kita sukses memangkas emisi secara signifikan, sekitar tiga juta unit bangunan berpotensi tenggelam.

Namun, dalam skenario kenaikan lima meter ke atas yang mungkin terjadi dalam beberapa abad jika emisi terus berlanjut, tingkat kerentanan meningkat drastis, menempatkan lebih dari 100 juta bangunan dalam bahaya.

Sebagian besar bangunan ini berlokasi di kawasan padat penduduk dan rendah. Konsekuensinya, seluruh lingkungan tempat tinggal dan prasarana krusialseperti pelabuhan, kilang minyak, dan situs bersejarah akan terkena dampak kenaikan permukaan air laut.

"Kami terkejut betapa banyaknya bangunan yang terancam hanya oleh kenaikan air laut jangka panjang yang tidak terlalu ekstrem," papar Prof. Jeff Cardile , salah satu penulis pendamping studi dari McGill University.

"Beberapa negara di kawasan pesisir jauh lebih berisiko daripada yang lain. Hal ini disebabkan oleh faktor topografi spesifik wilayah pantai mereka dan letak bangunan di sana," katanya.

Para ilmuwan menegaskan bahwa temuan ini memberikan informasi krusial yang dapat digunakan oleh perencana kota, pengambil keputusan, dan masyarakat dalam membuat strategi untuk mengantisipasi kenaikan permukaan laut yang sudah pasti terjadi.

Baca juga: Kenaikan Permukaan Air Laut Bisa Jadi Bencana, meski Target 1,5°C Tercapai

"Setiap dari kita akan terkena dampak oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut, baik kita tinggal di dekat laut atau tidak," ungkap Eric Galbraith, profesor lain yang terlibat dalam studi.

"Kita semua bergantung pada barang, makanan, dan bahan bakar yang melalui pelabuhan dan infrastruktur pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Gangguan terhadap infrastruktur penting ini dapat menimbulkan kekacauan pada ekonomi dan sistem pangan global yang saling terhubung," terangnya.

Peta interaktif dari penelitian ini, yang dapat diakses publik melalui Google Earth Engine, memberi pengambil kebijakan kemampuan untuk melihat secara langsung kawasan mana yang paling rentan.

Informasi ini sangat penting untuk merumuskan strategi adaptasi iklim, termasuk pembangunan tembok laut atau tanggul, modifikasi perencanaan tata guna lahan, atau, bahkan, pemindahan penduduk secara terencana.

"Kita pasti akan menghadapi kenaikan air laut pada tingkat moderat. Oleh karena itu, semakin awal masyarakat pesisir mulai menyusun rencana adaptasi, semakin baik prospek mereka untuk tetap bertahan dan makmur," tambah Maya Willard-Stepan, penulis utama studi ini.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau