Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi UB: Pemanfaatan Geotermal di Indonesia Masih Jauh dari Maksimal

Kompas.com, 22 Oktober 2025, 16:05 WIB
Nugraha Perdana,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Wardana menyebut, bahwa Indonesia memiliki potensi energi panas bumi (geotermal) yang sangat besar, mencakup 40 persen dari total di dunia.

Potensi ini diyakini mampu menjadi alternatif utama pengganti Pembangkit Listrik Tenaga UAP (PLTU) yang berbahan bakar batu bara.

Meskipun demikian, pemanfaatan sumber energi bersih ini di dalam negeri masih jauh dari maksimal.

Baca juga: Insentif Fiskal dan Skema KPBU Dinilai Bisa Majukan Panas Bumi Nasional

Wardana menyampaikan, kendala utama pemanfaatan geotermal adalah tingginya biaya investasi awal untuk pembangunan pembangkit. Hal ini membuat investor enggan masuk.

"Belum maksimal karena belum ada investor yang tertarik. Biaya untuk mendirikan pembangkitnya itu mahal," ujar dia saat diwawancarai, Selasa (21/10/2025).

Karena itu, dia mendesak pemerintah memberikan insentif fiskal dan pajak untuk menarik minat investor.

Selain biaya, Wardana menyoroti regulasi. Menurutnya, PLN juga harus didorong untuk wajib membeli listrik dari geotermal, meskipun harganya lebih mahal di tahap awal.

"Problemnya, kalau batu bara kan jelas, PLN mau beli. Aturannya aja diubah, kalau dia (investor) mau untuk geothermal, beli aja listriknya," tegasnya.

Dia membandingkan, investasi geotermal memang mahal di awal, namun akan memberikan energi gratis selamanya. Ini berbeda dengan batu bara yang murah di awal namun biayanya terus meningkat seiring waktu.

"Investasinya besar di awal, tapi seterusnya gratis. Sepanjang masa itu gratis. Kalau batu bara, di awal murah, ya lama-lama terus tambah mahal dia," jelasnya.

Pro dan Kontra

Menanggapi kekhawatiran masyarakat, seperti pro-kontra pembangkit listrik geotermal yang dinilai bisa mengancam sumber mata air di daerah pegunungan, dia menyebut teknologi tersebut aman.

Ia menegaskan bahwa geotermal hanya memanfaatkan uap panas dari dalam bumi, bukan mengambil air dari sumber mata air.

"Oh tidak (mengancam). Yang dipakai uapnya, bukan airnya. Jadi tidak mengurangi sumber mata airnya. Gak akan mencemari mata air juga. Enggak perlu khawatir," katanya.

Baca juga: Potensi Panas Bumi RI Capai 23.742 MW, tapi Baru Terkelola 10 Persen

Di luar masalah geotermal, Wardana menilai Indonesia sudah berada di jalur yang benar atau on track dalam transisi energi hijau. Ia menekankan bahwa bauran energi atau energi berbaur adalah kunci, di mana semua sumber, termasuk nuklir, perlu porsi yang seimbang sebagai cadangan.

Menurutnya, data menunjukkan akses masyarakat Indonesia terhadap energi bersih sudah mencapai 90 persen.

"Akses kita ke energi bersih itu sudah 90 persen. Jauh di atas Cina, di atas India. Di ASEAN, kita tertinggi," ungkapnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau