AHI d’ue tallu, kako beko nga pera u ne rui, mai we di tahe la u la u, la rai mannnyi nga-natta, harro le ie, amaji le ta j’au, b’ole ballo- ballo – rai di, rai hawu, rai due nga donahu.
Demikian sepenggal lirik dalam Alu Re, sebuah nyanyian di puncak lontar dari Pulau Sabu di Nusa Tenggara Timur. Penggalan tersebut berarti: "hidupku mulai surut, jalanku terseok-seok karena usia, aku mengajak semua saudara mengingat kampung halaman; meski berjauhan jangan lupa tanah air kita, negeri Sabu, negeri lontar dan gula."
Di Sabu masyarakat hidup di “lautan lontar”. Ini adalah sebutan untuk sebuah pohon serba guna, yang menjadi sumber pangan, bahan bangunan, dan identitas Pulau Sabu, atau dalam bahasa lokal disebut Rai Hawu. Di atas tanah yang kering dan angin yang keras, akarnya menahan erosi, menyimpan air, dan menegakkan harapan.
Berdampingan dengan gewang, savana, pinus, serta sabuk mangrove di pesisir, Sabu mengajarkan pelajaran sederhana: ketahanan iklim lahir dari harmoni alam–budaya. Namun harmoni itu kian rapuh.
Dalam satu generasi, rumah daun berganti tembok dan atap seng. Alasannya bukan sekadar selera “modern” atau praktis, tetapi paket bantuan yang menstandarkan material tembok dan seng tanpa menimbang iklim dan budaya setempat. Bayangkan, hidup dibawah atap seng yang sehari-hari berhadapan dengan cuaca panas dan terik.
Sabu, adalah satu dari ribuan pulau yang masyarakatnya terancam akibat perubahan iklim. Bappenas (2021) menyebut, sekitar 1.800 km area pesisir Indonesia terklasifikasi sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sementara 60 persen penduduk Indonesia, tinggal di wilayah pesisir. Di tahun 90-an, Do Hawu (sebutan untuk masyarakat Sabu Raijua) menggantungkan sumber penghidupan mereka pada budidaya rumput laut.
Namun seiring dengan redupnya masa keemasan rumput laut akibat hama dan gagal panen sebagai dampak perubahan iklim, mereka kembali ke pertanian darat, mengiris nira, menenun, atau merantau. Tentu, ini tantangan besar bagi masyarakat Sabu.
Baca juga: Pemkab Flores Timur Janji Dorong Perda Pelestarian Pohon Lontar
Namun, kajian yang dilakukan organisasi nirlaba lingkungan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menunjukkan, masih ada harapan. Melalui pendekatan berbasis perilaku dan kearifan lokal, terdapat empat pengungkit perubahan yang dapat memulihkan daya tahan pulau ini.
Pengungkit pertama adalah kembali ke akar, yaitu memanfaatkan pangan lokal berbasis lontar. Nira dari pohon lontar yang diolah menjadi gula lempeng atau gula cair bukan hanya sumber makanan, tetapi juga strategi ketahanan. Produk ini tahan terhadap musim kering, memiliki nilai ekonomi, dan berjejak air rendah—artinya ramah lingkungan.
Dengan menambahkan nilai melalui diversifikasi produk, peningkatan standar mutu, dan akses ke pasar digital, lontar bisa menjadi penopang ekonomi lokal. Hal ini juga berpotensi menahan arus migrasi tenaga kerja dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pengungkit kedua adalah menghidupkan kembali ruang-ruang informal sebagai tempat belajar ekologi. Bale, lopo, atau bahkan ruang di bawah pohon asem bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi juga ruang pembentukan norma, kebiasaan, dan kekerabatan sosial.
Dengan kurikulum ringan yang mencakup pengetahuan tentang musim, tata kelola air, teknik panen nira berkelanjutan, dan perawatan atap daun, pengetahuan adat dapat kembali menjadi panduan dalam praktik harian masyarakat.
Pengungkit ketiga adalah membingkai pesan kebijakan dengan refleksi dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, pilihan atap rumah memengaruhi suhu ruangan, biaya kesehatan, dan konsumsi listrik. Menebang pohon tanpa menanam kembali bisa mengancam ketersediaan pangan di masa depan.
Ketika pesan-pesan kebijakan dikaitkan langsung dengan pengalaman nyata—seperti rasa panas di rumah, rasa gula lontar, atau biaya hidup—maka pesan tersebut lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Pengungkit keempat adalah menyatukan kelembagaan adat dan daerah. Peraturan desa tentang lontar, regulasi daerah mengenai perlindungan dan pemanfaatan lontar, serta kemitraan dalam pengelolaan lingkungan dapat berjalan beriringan dengan aturan adat yang sudah ada, seperti kalender tanam, ritual bertani, dan sistem denda adat. Kolaborasi ini memperkuat legitimasi kebijakan sekaligus menjaga keberlanjutan praktik lokal.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya