SEPTIAN Andriki, atau akrab dipanggil Deki, menangis ketika menemukan jenis Rafflesia yang belum pernah ia lihat sebelumnya, yakni Rafflesia hasseltii, di tengah Hutan Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat, pada pertengahan November lalu.
Rafflesia hasseltii dikenal sebagai salah satu spesies Rafflesia dengan ukuran besar dan pola kelopak yang khas.
Tangisan itu adalah luapan rasa syukur yang ia simpan selama 13 tahun, waktu yang ia habiskan untuk mencari spesies langka yang hanya tumbuh pada inang tertentu (genus Tetrastigma) di hutan tropis Indonesia.
“Allahuakbar, ya Allah,” ucapnya dalam video yang dibagikan ahli tanaman langka dari Universitas Oxford, Chris Thorogood, di media sosial.
Momen langka ini dirayakan para peneliti dan masyarakat sebagai penanda bahwa keajaiban alam Indonesia belum benar-benar hilang.
Baca juga: Rafflesia hasseltii dan Warisan Rasis Kolonial
Selama ini, publik kerap tak membedakan Rafflesia dan bunga bangkai (Titan arum), atau mengira Rafflesia arnoldii adalah satu-satunya spesies Rafflesia di Indonesia.
Namun, euforia penemuan itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah video Deki tersebar luas, publik dikejutkan oleh peristiwa lain, yakni demonstrasi masyarakat yang terdampak upaya pemulihan salah satu habitat gajah Sumatra yang paling kritis: Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Pemerintah merelokasi warga yang tinggal di dalam kawasan TNTN, sehingga memicu perdebatan sengit mengenai batas kawasan, keadilan sosial, dan hak atas tanah.
Jagat maya kemudian ramai oleh dukungan publik melalui tagar #SaveTessoNilo, sebuah seruan untuk melindungi hutan yang tersisa.
Peristiwa keajaiban bunga langka yang mekar dan konflik pemulihan TNTN menunjukkan dua sisi wajah hutan Indonesia hari ini, yakni keindahan yang terus bertahan, dan krisis ekologis yang semakin nyata.
Krisis hutan di Indonesia, termasuk yang mencuat dari kasus TNTN, tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan hasil akumulasi keputusan politik, ekonomi, dan sosial yang mengendap selama puluhan tahun.
Kerusakan habitat tempat Rafflesia hidup maupun kawasan jelajah gajah Sumatera mencerminkan pola sama, yakni tekanan manusia dan tata kelola lingkungan yang terlalu berpusat pada manusia, bukan pada keseimbangan ekosistem.
Warga membongkar plang dan meminta anggota Satgas PKH meninggal Taman Nasional Tesso Nilo, di Kabupaten Pelalawan, Riau, Senin (24/11/2025).Ia tumbuh dari lemahnya penegakan hukum dan pembiaran yang berlangsung begitu lama, sehingga ruang hidup gajah serta flora unik seperti Rafflesia menyempit secara drastis.
Kedua, ketidakjelasan tata batas dan hak atas tanah ikut memperparah keadaan. Banyak warga yang kini tinggal di dalam TNTN bukan karena niat merusak, tetapi akibat minimnya kepastian hukum dan sosialisasi di masa lalu.
Baca juga: Siasat Licik Oligarki Merampok Tanah (Bagian I)
Relokasi yang dilakukan sekarang terasa pahit karena mereka tidak pernah benar-benar memahami status tempat tinggal mereka.
Ketiga, ketergantungan ekonomi mendorong masyarakat menggarap lahan yang dianggap kosong atau tidak termanfaatkan. Ketika akses terhadap sumber penghidupan terbatas, hutan menjadi jalan pintas bertahan hidup.
Keempat, kurangnya investasi jangka panjang dalam konservasi, mulai dari penelitian, pemantauan, edukasi publik, hingga kemitraan dengan masyarakat adat, membuat banyak persoalan baru terlihat ketika sudah terlambat.
Kita merayakan “penemuan” Rafflesia hasseltii, tetapi sesungguhnya momen itu mengingatkan bahwa banyak keajaiban hutan Indonesia baru tersorot ketika ada kejutan atau tragedi.
Di atas semua itu, perang narasi memperkeruh keadaan. Tanpa ruang dialog yang adil, publik mudah terjebak pada polarisasi seperti melihat gajah sebagai perusak atau masyarakat sebagai perambah; atau memandang warga sebagai pihak yang harus ditertibkan, sementara negara dipersepsikan sebagai aktor represif.
Di tengah kaburnya batas antara kepentingan manusia dan kelestarian alam, kita perlu menilai situasi ini dengan jernih, bukan sekadar mencari siapa yang salah.
Pertama, gajah bukan pengganggu. Konflik manusia–satwa terjadi karena ruang jelajah satwa menyusut oleh ulah manusia.
Gajah tidak memilih meninggalkan hutan; manusialah yang masuk terlalu jauh ke ruang hidup mereka. Dalam kerangka moral, gajah dan satwa liar lainnya adalah korban, bukan pelaku.
Kedua, membingkai masyarakat sebagai perambah yang harus ditertibkan adalah narasi yang mengabaikan ketidakadilan struktural.
Banyak warga terjebak dalam situasi tanpa pilihan akibat pembiaran bertahun-tahun, ketidakjelasan tata batas, dan absennya peran negara.
Baca juga: Menunggu Surat dari Kantor Gubernur Bobby Nasution
Untuk itu, menghukum mereka tanpa memberi solusi adalah tindakan yang salah secara etis. Namun, di sisi lain, tindakan merusak hutan, tetap tidak dapat dibenarkan, terutama jika didorong pemodal besar, dan pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan warga.
Ketiga, negara memikul tanggung jawab moral terbesar. Penertiban menandakan kegagalan tata kelola.
Kendati demikian, langkah pemulihan habitat patut diapresiasi selama dijalankan dengan transparansi, keadilan sosial, dan menghormati martabat warga.
Pada akhirnya, krisis hutan Indonesia bukan tentang menentukan satu pihak yang sepenuhnya benar atau salah, melainkan tentang mengakui siapa yang paling rentan dan siapa yang paling berkuasa memperbaikinya.
Satwa bukan pelaku; masyarakat bukan musuh; dan negara memiliki kewajiban moral memperbaiki kesalahan masa lalu.
Di tengah segala perdebatan itu, alam tidak punya suara, tetapi dampaknya bersuara lantang.
Mekarnya Rafflesia hasseltii setelah 13 tahun dicari adalah bisikan lembut tentang keajaiban yang masih bertahan. Ancaman terhadap Tesso Nilo adalah jeritan keras tentang krisis yang tak bisa lagi diabaikan.
Negara harus berpihak pada keberlanjutan hidup karena tanpa hutan yang utuh, keajaiban seperti Rafflesia hasseltii tidak akan lagi mampu mekar.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya