KOMPAS.com - Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, yang menjadi habitat gajah Sumatera dan harimau Sumatera, kini semakin terancam ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, ekspansi perkebunan sawit di dalam maupun sekitar TNTN dapat terjadi akibat pembiaran secara terus-menerus.
Ia mengkritik pendekatan pemerintah dalam menangani permasalahan terancamnya habitat gajah Sumatera dan harimau Sumatera di dalam atau sekitar TNTN akibat perluasan perkebunan kelapa sawit.
Baca juga: Kemenhut Akui Sulit Relokasi Warga dari Tesso Nilo karena Provokator
Pengusiran masyarakat lokal yang tinggal dalam atau sekitar kawasan TNTN hanya akan sekadar memindahkan permasalahan tanpa adanya upaya penyelesaian.
"Jangan sampai orang melihat ya, karena yang lemah itu masyarakat, sehingga yang mohon maaf, digusur-gusur itu masyarakat, padahal kalau (TNTN) dilihat (secara keseluruhan), itu menyangkut juga beberapa perizinan di sekitarnya," ujar Surambo kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2025).
Padahal, perusahaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi dalam alih fungsi lahan di dalam atau sekitar TNTN. Berdasarkan data Sawit Watch, per Juli 2025, luas lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit di dalam maupun sekitar TNTN mencapai 40.385,11 hektar.
"Masyarakat adat kalau ada orang dari luar ingin hidup di situ pasti dikasih akses. Tapi juga tidak menutup kemungkinan ada beberapa pembonceng dalam artian orang yang mau bisnis sawit (di sana), yang (biasanya) punya (lahan) luas, sehingga yang terjadi, yang ditetapkan sebagai Taman Nasional sudah menjadi seperti perkebunan sawit," tutur Surambo.
Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024, Surambo menegaskan, yang diperbolehkan menanam pohon kelapa sawit di dalam atau sekitar TNTN hanya masyarakat lokal atau adat turun-temurun atau sudah tinggal di sana minimal 5 tahun. Syarat lainnya, kegiatan berkebunnya tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Luas lahan perkebunan kelapa sawit kurang dari 5 hektar menjadi batasan bagi syarat kegiatan berkebun yang tidak untuk kepentingan komersial. "Kalau yang (lahan perkebunan) sawitnya di atas 5 hektar, itu untuk bisnis dan saya setuju diambil oleh negara," ucapnya.
Di sisi lain, sebenarnya akar permasalahannya justru terletak pada proses penetapan status kawasan Taman Nasional yang tanpa disertai dengan konsultasi mendalam dengan masyarakat lokal. Imbasnya, masyarakat yang telah lama tinggal di sana merasa memiliki lahan dan mengelolanya dengan tidak mempertimbangkan status Taman Nasional dari Kementerian Kehutanan saat itu.
Baca juga: Kisah Luka Tesso Nilo
"Saya melihatnya proses-proses konsultasi dengan masyarakat tidak penuh, mereka kan proses tata kelola hutannya itu tidak terjadi dengan baik dan terjadi pembiaran terus menerus," ujar Surambo.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya