KOMPAS.com - Ekspansi perkebunan kelapa sawit mengancam habitat gajah Sumatera dan harimau Sumatera di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, konflik antara manusia dengan gajah Sumatera dan harimau Sumatera tersebut berisiko mempengaruhi citra produk turunan perkebunan kelapa sawit Indonesia di mata negara-negara pengimpor. Khususnya, Uni Eropa yang menuntut perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola secara berkelanjutan.
Konflik antara manusia dengan gajah Sumatera dan harimau Sumatera seiring ekspansi perkebunan kelapa sawit ke TNTN mencerminkan buruknya aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance /ESG).
Baca juga: Kemenhut Akui Sulit Relokasi Warga dari Tesso Nilo karena Provokator
"Ini pasti akan membuat citra perkebunan sawit di Indonesia memburuk. Kalau tidak diselesaikan atau terjadi pembiaran. Bahkan, (kalau) diselesaikan dengan gaya sekarang pun sebenarnya citranya buruk, mengusir orang, menggusur warga," ujar Surambo kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2025).
Menurut Surambo, jalan penyelesaian permasalahan tersebut hanya dengan mengajak masyarakat lokal berdialog melalui pendekatan hak asasi manusia (HAM). Jadi, perlu mengajak memposisikan gajah Sumatera dan harimau Sumatera sebagai spesies kunci yang penting.
Harapannya, masyarakat lokal dapat bisa hidup berdampingan dengan gajah Sumatera dan harimau Sumatera. Oleh karena itu, perlu pula penataan ruang di sekitar kawasan TNTN, termasuk untuk mengakomodir koridor atau wilayah jelajah gajah Sumatera dan harimau Sumatera.
"Penting sekarang menata ruang, membuat komitmen-komitmen dengan masyarakat. Jangan (di)lihat hanya Taman Nasional. Jangan sampai orang melihat ya karena yang lemah itu masyarakat, sehingga mohon maaf, digusur-gusur itu," tutur Surambo.
Selain kelestarian satwa, kata dia, kesejahteraan masyarakat lokal juga penting untuk diperhatikan. Ia menganggap menggusur masyarakat lokal dari TNTN hanya mengalihkan permasalahan belaka. Surambo menggarisbawahi siapa 'masyarakat lokal' yang perlu diajak dialog dan dilindungi dari penggusuran dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024. Yaitu, masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan kegiatan berkebunnya tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Baca juga: 4.700 Hektare Bekas Lahan Sawit di Tesso Nilo Kembali Ditanami
Berdasarkan putusan MK tersebut, luas lahan sawit kurang dari 5 hektar menjadi batasan untuk kegiatan berkebun yang tidak untuk kepentingan komersial. "Kalau yang (lahan perkebunan) sawitnya di atas 5 hektar, itu untuk bisnis dan saya setuju diambil oleh negara," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya