SETIAP menggunakan kantong plastik saat berbelanja, secara tidak langsung, kita menitipkan sampah di masa depan. Konsumen diminta membawa tas kain, tolak sedotan berbahan plastik, dan acap kali penggunaan plastik sekali pakai dilihat sebagai perilaku individu yang konsumftif. Sementara itu, industri terus memproduksi bungkus sekali pakai setiap hari. Jadi, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas tumpukan sampah plastik. Apakah konsumen atau produsen?
Menurut Šmelcerovi? (2021) “Waste is any material or product that no longer has any useful value or can no longer fulfill its economic purpose after being used”. Sederhananya, setiap bahan atau produk yang tidak lagi memiliki nilai guna atau tidak dapat lagi memenuhi tujuan ekonominya setelah digunakan disebut sebagai sampah. Artinya, sesuatu dikatakan sampah bukan karena bentuknya rusak, tapi karena sudah tidak memiliki nilai ekonomi.
Misalnya, kantong plastik yang dipakai untuk membawa belanjaan. Setelah barang belanjaan dikeluarkan, plastik sekali pakai sering dibuang langsung, meskipun masih utuh.
Berdasarkan American Society of Plastic Industry (1998 dalam Ragorudin et al., 2024) plastik dibagi menjadi tujuh jenis berdasarkan bahannya. Plastik PET biasanya digunakan untuk botol minuman dan wadah makanan yang aman dipanaskan di microwave. HDPE sering digunakan untuk kemasan seperti shampo, diterjen, dan kantong sampah.
PVC adalah jenis plastik yang paling sulit di daur ulang karena terbuat dari bahan etinal dan klorin. LDPE merupakan plastik yang kuat dan tahan terhadap bahan kimia serta ringan. PP ringan, kuat, tahan panas dan minyak, serta tampak mengkilap. PS bisa melepaskan zat berbahaya (styrene) jika bersentuhan langsung dengan makanan.
Plastik kategori OTHER mencakup jenis lain yang digunakan untuk botol minum olahraga, suku cadang kendaraan, elektronik, dan berbagai kemasan lainnya. Kategori di atas, menunjukan sampah plastik memiliki beragam jenis yang tidak hanya tertuju pada satu kategori saja.
Pada konteks ini, akan lebih menarik jika fokus pada persoalan sampah plastik sekali pakai dengan menggunakan pendekatan Deborah Stone untuk menganalisa larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di Jakarta melalui Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 27 Desember 2019 (JDIH Provinsi DKI Jakarta, 2019).
Jakarta memiliki masalah dengan volume sampah plastik yang tinggi, menghasilkan 7.500-7.800 ton sampah perhari, sekitar 14% diantaranya sampah plastik, terutama dari kantong plastik sekali pakai (Purnamasari, 2022).
Jika ditelusuri, dari mana sampah plastik berasal, jawabannya tidak bisa tertuju pada konsumen, mengingat, industrilah yang memproduksi dan mengontrol sistem kemasan sekali pakai seperti yang dilaporkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta (DLH Jakarta, 2023).
Selama bertahun-tahun, produsen makanan, minuman, dan produk rumah tangga terus memproduksi barang dalam bungkus plastik yang murah, praktis, dan ringan tanpa memastikan kemasan itu bisa dipakai ulang atau di daur ulang secara efektif dan tidak merusak lingkungan.
Ironisnya, sebagian besar produsen justru tidak dibebani tanggung jawab langsung atas persoalan lingkungan yang mereka hasilkan, dan peraturan cenderung membebani konsumen dengan sistem penggunaan kantong plastik sekali pakai serta dikonotasikan berperilaku konsumtif.
Padahal pengawasan terhadap larangan kantong plastik sekali pakai, masih kurang efektif yang dibuktikan dengan beberapa toko atau retail modern masih menerapkan pola yang sama sebelum kebijakan ini dikeluarkan. Selain itu, larangan di pasar tradisional seakan tidak tersentuh dengan kebijakan ini. Edukasi juga belum menjangkau semua kalangan, terutama masyarakat yang kurang akses informasi.
Pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, memberi dukungan bagi usaha kecil, dan menegakkan aturan secara adil. Inilah yang dimaksud sebagai pergeseran tanggung jawab, dimana produsen terus mengambil keuntungan dari sistem produksi sekali pakai, sementara masyarakat dituntut menjadi konsumen sadar lingkungan dalam pasar yang tidak memberi pilihan berkelanjutan.
Seharusnya, pemerintah mengeluarkan aturan dan menerapkan pengawasan secara berkala bagi produsen.
Sejak kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai diberlakukan di Jakarta, muncul berbagai reaksi dari masyarakat dan pelaku usaha. Konsumen diminta membawa kantong belanja sendiri, sementara toko-toko dan supermarket dilarang menyediakan kantong plastik secara gratis.
Sekilas, aturan ini terlihat sederhana, namun dibalik itu, terjadi tarik menarik kepentingan antara produsen dan konsumen. Banyak konsumen mengeluhkan bahwa mereka tidak diberi cukup pilihan atau waktu untuk beradaptasi dengan aturan yang diterapkan.
Di sisi lain, produsen dan pelaku usaha, terutama retail modern, merasa terbebani karena harus menyediakan kantong alternatif yang sering kali lebih mahal dan kurang praktis. Tidak sedikit yang akhirnya tetap menyediakan kantong plastik berbayar yang secara teknis melanggar kebijakan ini.
Dari sudut pandang konsumen, kebijakan ini dianggap memberatkan karena mereka harus membeli tas kain atau membawa tas belanja sendiri dari rumah atau membayar kantong plastik sekali pakai yang disediakan oleh produsen. Namun, dari sisi produsen dan toko, perubahan sistem ini memerlukan biaya tambahan untuk pengadaan kemasan ramah lingkungan maupun edukasi kepada masyarakat atau konsumen.
Buku Deborah Stone berjudul Policy Paradox, menjelaskan bahwa kebijakan bukan hanya soal data dan logika, tapi juga dipengaruhi oleh konflik nilai, simbol dan kekuasaan (Stone, 2012). Stone menyebutnya sebagai kebijakan yang kontradiksi, karena kebijakan terlihat logis dan adil justru menyimpan ketimpangan dan kekuasaan di baliknya.
Konteks penggunaan plastik sekali pakai di Jakarta, menunjukan sebuah kebijakan yang paradoks. Persoalan sampah plastik didefinisikan sebagai permasalahan yang disederhanakan, padahal sebenarnya persoalan sampah plastik sangat kompleks dari mulai proses produksi hingga pasca produksi.
Produsen yang terus memproduksi plastik sekali pakai justru tidak dipaksa bertanggung jawab. Seakan-akan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai dapat dengan mudah memberikan solusi atas persoalan sampah di Jakarta. Akibatnya, persoalan sampah plastik cenderung dibebankan pada konsumen, terutama pedagang kecil dan masyarakat miskin yang sulit mencari alternatif dari kebijakan ini.
Kebijakan ini terlihat seperti simbol, karena tanpa tindakan tegas pada produsen dan sistem pengelolaan sampah yang baik, masalah sampah plastik sulit teratasi. Selain itu, mereka yang paling berdampak, jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hingga akhirnya, kebijakan hanya menjadi simbol kepedulian tanpa menyentuh akar persoalan.
Melalui pendekatan Deborah Stone, dapat dipahami bahwa kebijakan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai bukan merupakan solusi untuk menjadikan lingkungan lebih baik, bahkan memunculkan paradoks, seperti masalah yang disederhanakan, penyebab utama yang diabaikan, produsen lepas tanggung jawab, dan konsumen disalahkan. Simbol lebih kuat dari substansi, sementara struktural diabaikan. Ada kecenderungan kelompok kecil menanggung lebih banyak.
Untuk keluar dari paradoks kebijakan ini, Jakarta perlu menguatkan regulasi terhadap produsen yang masih menggunakan plastik sekali pakai, menerapkan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) secara tegas, dan melibatkan publik dalam proses kebijakan, bukan sekedar menyalahkan perilaku individu yang konsumtif.
Selain itu, persoalan sampah harus dilihat dari kedua sisi antara produsen dan konsumen, sehingga persoalan lingkungan bukan hanya dilihat dari perilaku individu yang terkesan konsumtif, melainkan dari sisi produsen juga harus diperhatikan. Keduanya memiliki peran yang signifikan terhadap penumpukan sampah di Jakarta, yang menjadikan volume sampah terus meningkat hingga mencapai 7.500-7.800 ton perhari.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya