CISARUA, KOMPAS.com — Di lereng Gunung Pangrango, udara dingin mengalir lembut di antara pepohonan dan menciptakan suasana hening yang khas kawasan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Di tengah lanskap inilah, Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua berdiri menjadi ruang pertemuan antara alam, satwa, dan manusia.
Jelang Hari Keanekaragaman Hayati yang diperingati setiap 29 Desember, aktivitas di dalam kawasan pun terasa memiliki makna yang lebih besar.
TSI tidak hanya menjadi tempat rekreasi keluarga, tetapi juga representasi nyata bahwa sektor pariwisata dapat menjadi bagian dari upaya melindungi kehidupan.
Direktur Utama TSI Group Aswin Sumampau menegaskan bahwa momen Hari Keanekaragaman Hayati selalu menjadi pengingat arti penting kerja konservasi yang konsisten. Baginya, konservasi adalah kerja jangka panjang, bukan respons sesaat terhadap isu lingkungan.
“Konservasi itu (seperti lari) maraton. Kita membangun kapasitas, data, dan komitmen yang terus berkelanjutan,” ujarnya saat ditemui Kompas.com, Senin (10/11/2025).
Baca juga: Marine Safari Bali, Gerbang Edukasi dan Konservasi Laut Nusantara
TSI Cisarua menjadi lokasi penting untuk menjalankan visi itu. Memiliki luas 263 hektare (ha) dan berbagai spesies yang hidup berdampingan dengan hutan Gunung Gede Pangrango, konservasi dilakukan lewat pendekatan menyeluruh.
Pengunjung tidak hanya mendapatkan edukasi mengenai satwa, tetapi juga diajak memahami cara konservasi dikerjakan di balik layar, mulai dari perawatan medis, pengayaan perilaku, hingga pembiakan satwa langka.
Setiap pengalaman safari pun diarahkan agar pengunjung memiliki kesadaran bahwa keberadaan satwa-satwa ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga bagian dari ekosistem yang harus dijaga keberlanjutannya.
Aswin menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, TSI Cisarua memperkuat pendekatan science-based conservation. Data satwa didigitalisasi agar pemantauan kesehatan lebih presisi. Tak ketinggalan, fasilitas medis satwa pun dimodernisasi.
Direktur Utama TSI Group Aswin Sumampau Klinik satwa diperbarui menjadi fasilitas yang lebih modern sehingga mampu mendukung tindakan medis kompleks dan pengawasan populasi satwa jangka panjang.
Baca juga: Taman Safari Indonesia Resmikan Enchanting Valley, Wisata Baru di Puncak
“Kami ingin tata kelola satwa lebih efisien dan berbasis data. Monitoring kesehatan, pola makan, dan perilaku satwa kini bisa dilakukan lebih terukur,” kata Aswin.
Transformasi tersebut, lanjutnya, tidak hanya menegaskan posisi TSI sebagai salah satu lembaga konservasi besar di Asia Tenggara, tetapi juga memperkuat nilai edukatif bagi pengunjung.
General Manager TSI Cisarua Sere Nababan melihat perubahan perilaku wisatawan sebagai momentum penting dalam penguatan konservasi.
Wisatawan, terutama keluarga muda, semakin peduli dengan cara tempat wisata mengelola lingkungan. Mereka penasaran dengan asal pakan satwa, cara pemantau kesehatan satwa, hingga cara memastikan kesejahteraan satwa (animal welfare).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya