JAKARTA, KOMPAS.com — Konferensi Iklim PBB (COP30) yang berlangsung di Belém, Brasil, berakhir tanpa kesepakatan global yang mengikat untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Kondisi ini dinilai dapat memperlambat agenda transisi energi global dan menempatkan Indonesia pada posisi yang semakin tertekan untuk memperbaiki tata kelola iklim nasional.
Dalam negosiasi terakhir, teks kesepakatan “Global Mutirão” tidak menyebutkan secara eksplisit arahan phase out bahan bakar fosil maupun peta jalan yang jelas untuk transisi energi. Padahal, COP30 sebelumnya diharapkan menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen negara-negara terhadap upaya dekarbonisasi.
Baca juga: COP30 Berakhir Mengecewakan, Brasil dan RI Gagal Dorong Komitmen Cegah Deforestasi
“Dalam teks Global Mutirão tidak ada frasa terkait transisi energi maupun fase keluar dari bahan bakar fosil. Tidak ada roadmap, dan semuanya masih bersifat sukarela,” kata Wira A Swadana, Climate Action Senior Lead World Resources Institute (WRI).
Ia mengatakan terbatasnya dukungan terhadap Belém Declaration, yang hanya ditandatangani 24 negara, menunjukkan lemahnya komitmen kolektif.
Wira menilai ketiadaan kesepakatan tegas berpotensi menghambat negara-negara berkembang dalam memperoleh dukungan pendanaan, termasuk melalui skema "Just Transition Mechanism".
Sebaliknya, tekanan global dapat bergeser kepada negara penghasil energi fosil seperti Indonesia.
Di dalam negeri, para peneliti menilai komitmen iklim Indonesia masih menghadapi tantangan serius terkait akuntabilitas dan konsistensi pelaksanaan Nationally Determined Contribution (NDC).
Peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, Riko Wahyudi, mengatakan keberhasilan Indonesia menahan laju emisi pada periode sebelumnya tidak terlepas dari penurunan aktivitas ekonomi saat pandemi Covid-19. Namun, pascapandemi, emisi kembali meningkat dan mendekati baseline NDC.
Riko juga menyoroti lemahnya sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV). Menurutnya, tidak semua aksi iklim diukur emisinya dan validasinya pun belum seragam karena belum adanya mandat sektoral yang jelas.
Baca juga: Prospek Bagus, Penasehat Presiden Jawab Kritik soal Jualan Karbon di COP30
Kondisi ini berisiko menimbulkan ketidaksinkronan antara target NDC dan pelaksanaan di lapangan.
“Jangan sampai Indonesia aktif di mekanisme internasional seperti perdagangan karbon, tetapi target NDC sendiri tidak tercapai pada 2030,” ujar Riko. Ia menilai hal ini dapat membuat Indonesia menanggung biaya lebih besar dalam mekanisme karbon internasional.
Ketiadaan kesepakatan global untuk phase out fosil pada COP30 membuat Indonesia perlu memperkuat tata kelola iklim nasional, terutama terkait sektor energi yang menjadi penyumbang emisi terbesar.
Riko menegaskan bahwa political will, penyusunan roadmap transisi energi yang komprehensif dan inklusif, serta mekanisme safeguard yang mengintegrasikan GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) harus segera diprioritaskan.
Tanpa langkah konkret, target Indonesia menuju net zero pada 2060 dinilai sulit tercapai.
“Capaian kita masih jauh dari target 2030. Untuk itu roadmap-nya harus dibentuk secara komprehensif, safeguard diperkuat, dan upaya transisi energi harus dijalankan, bukan sekadar wacana,” ujarnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya