JAKARTA, KOMPAS.com - Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-30 PBB (KTT COP30) di Belem, Brasil, yang telah ditutup masih menyisakan catatan pahit. Harapan yang disematkan dalam pertemuan di negara dengan hutan hujan tropis terbesar di dunia itu berujung pada kekecewaan.
Ini mengingat KTT COP30 digelar pemerintahan Brasil yang dikenal pro hutan dan iklim. Di bawah Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, Brasil telah menurunkan tingkat deforestasi secara signifikan. Namun, kenyataannya berkata lain dan COP30 justru serupa dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya yang kurang memberikan terobosan berarti.
Baca juga: Indonesia Dianggap Kena Jebakan di KTT COP30 karena Jual Karbon Murah
"Mengecewakan, terutama karena harapan yang besar itu ya. Kalau di tiga COP sebelumnya kan di negara-negara minyak ya, sehingga ekspektasi kita terkalibrasi dengan sendirinya. Nah, ini di negara dengan hutan hujan tropis terbesar di dunia, kita berharap lebih jauh," ujar Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak, Selasa (25/11/2025).
Dari segi keputusan, COP30 tidak menghasilkan komitmen konkret untuk menutup gap menganga dalam mencapai batas aman 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Perjanjian Paris. COP30 juga tidak menghasilkan komitmen konkret untuk mengakhiri industri fosil dan menghentikan deforestasi. Bahkan, dari segi keputusan COP30 lebih buruk daripada COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab — yang notabene negara minyak — yang menghasilkan komitmen global untuk bertransisi dari energi fosil.
Senada, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad juga mengaku kecewa dengan hasil keputusan COP30 yang tidak selaras dengan citra Brasil sebagai negara dengan hutan hujan tropis terbesar di dunia.
Namun, Brasil sudah mencapai targetnya untuk meluncurkan mekanisme pembiayaan internasional untuk keberlanjutan ekosistem hutan tropis (Tropical Forest Forever Facility / TFFF). Brazil berhasil mengamankan komitmen pendanaan sebesar 9,5 miliar dolar AS dari negara-negara maju, meskipun mekanisme ini berada di luar kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Brasil berupaya untuk mencari pendanaan untuk konservasi hutan di luar jalur utama COP.
"Itu (mendapatkan komitmen pendanaan) bukan di area utama (negoisasi COP 30), tetapi ini kayak pinggiran, tapi sebenarnya yang menjadi andalan Brasil. Ini bukan pencapaian COP, tetapi lebih karena Brazil membuat arena bermain sendiri," ucapnya.
Di sisi lain, Indonesia memilih jalur negoisasi dalam UNFCCC dengan pendekatan yang lebih bermain aman. Padahal, semestinya Indonesia bisa memperjuangkan pendanaan dalam upaya penguatan adaptasi dan mitigasi krisis iklim, mengingat posisinya sebagai negara yang telah lama dieksploitasi.
“(Indonesia) punya potensi secara ekonomi sebenarnya di (panggung) geopolitik global, tapi memilih tidak bersuara dengan cukup keras seperti Kolombia," ujar Nadia.
Ia juga menyesalkan COP30 tidak menghasilkan rencana konkret yang memadai untuk menjawab tantangan krisis iklim. Ia menilai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) masih terlalu lemah, mekanisme pendanaan belum jelas, serta komitmen sejumlah negara maju tidak menunjukkan kemajuan yang bermakna.
Meskipun ada klaim pendanaan adaptasi krisis iklim akan ditingkatkan hingga tiga kali lipat, Nadia menyebut detail implementasinya tetap belum dipaparkan dengan transparan.
Baca juga: Di COP30, Kemenhut Ungkap Komitmen Rehabilitasi 12,7 Juta Ha Lahan Hutan
“Belum ada rencana yang konkret. siapa yang akan membayar juga belum jelas. Sehingga seharusnya ada roadmap sesudah itu,” tutur Nadia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya