KOMPAS.com - Dunia bergerak menuju ekonomi rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Investasi global ke energi terbarukan, jaringan listrik, dan baterai pada 2025 mencapai 2,2 dollar Amerika Serikat, atau dua kali lipat dibandingkan investasi global untuk energi fosil.
Bahkan, mulai bulan Januari 2026, Uni Eropa akan memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mewajibkan seluruh industri yang mengekspor barang ke wilayah tersebut untuk melaporkan emisinya.
Baca juga:
Institute for Essential Services Reform (IESR) memprediksi, kebijakan senada akan semakin banyak diterapkan, karena negara-negara di dunia telah memiliki target pengurangan emisi GRK menuju net zero emission (NZE).
Untuk menanggapinya, Indonesia perlu segera mengurangi ketergantungan pada kegiatan ekonomi berbasis batu bara.
Indonesia harus segera keluar dari jebakan sistem energi fosil yang menurunkan daya saing akibat tingginya jejak emisi GRK pada produk dan jasanya.
Kondisi tersebut juga akan menyulitkan Indonesia dalam memenuhi tuntutan perusahaan-perusahaan multinasional yang saat ini mensyaratkan akses energi terbarukan. Perusahaan-perusahaan multinasional membutuhkan energi terbarukan untuk mengurangi jejak emisi GRK mereka.
Ketergantungan pada energi fosil akan menghambat perusahaan-perusahaan multinasional untuk berinvestasi lebih besar di Indonesia.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bata bara dalam jaringan PLN dengan kapasitas 85 gigawatt (GW) telah mengakibatkan kenaikan emisi GRK sektor ketenagalistrikan rata-rata delapan persen per tahun.
Baca juga: IESR: RI Belum Siap Transisi Energi karena Lembaga Pembayaran Gelontorkan Dana ke Energi Fosil
PLTU Banten 3 Lontar berkapasitas 4x315 MW Selama lima tahun terakhir, emisi GRK dari PLTU dalam jaringan PLN tersebut mencapai 352 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) pada 2024.
Sementara itu, PLTU captive atau yang dioperasikan industri secara mandiri di luar jaringan PLN berkapasitas 31,1 GW menghasilkan 131 juta juta ton CO2e. PLTU captive menyumbang 37 persen dari total emisi sektor ketenagalistrikan di Indonesia.
Percepatan transisi dari energi fosil ke yang terbarukan perlu diiringi dengan pemensiunan dini PLTU batubara.
Menurut Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, berbagai kebijakan terkait seperti Perpres 112/2022, perlu diperkuat dengan larangan tegas terhadap pembangunan PLTU baru.
Ia berpendapat, seluruh PLTU harus diwajibkan menurunkan emisi GRK setelah beroperasi selama 10 tahun. Seluruh PLTU juga harus berhenti beroperasi pada 2050.
“Kebijakan ini penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah serta memberikan sinyal yang jelas bagi pelaku industri, baik batu bara maupun energi terbarukan, agar mereka dapat menyiapkan strategi transisi. Industri, pekerja, dan pemerintah daerah membutuhkan kepastian untuk mulai menyusun dan menjalankan rencana transisi,” ujar Deon dalam keterangan tertulis, Kamis (4/12/2025).
Baca juga: COP30: 70 Organisasi Dunia Desak Kawasan Bebas Energi Fosil di Hutan Tropis
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya