“Karena owa jawa bersifat monogami dan sangat bergantung pada kelompok keluarga, pelepasliaran dilakukan dalam unit keluarga lengkap, yakni induk pejantan, betina, dan anakan, untuk memastikan keberhasilan adaptasi di alam. Persiapan menuju pelepasan ini telah berjalan dan terus dimatangkan,” jelas drh Bongot.
Baca juga: Bayi Panda Satrio Koleksi Baru Taman Safari Bogor, Diberi Nama Presiden Prabowo dan Dijaga 24 Jam
Untuk harimau sumatera, lanjutnya, TSI memang sudah sejak lama menjadi salah satu aktor penting dalam konservasi spesies endemik ini.
Dimulai pada 1994, TSI terlibat langsung dalam penyelamatan harimau dari konflik manusia-satwa, rehabilitasi, dan pelepasliaran. Hingga kini, 11 individu harimau telah berhasil dilepaskan kembali ke habitat aslinya.
Aswin menjelaskan bahwa konflik manusia–harimau merupakan tantangan besar karena kerusakan dan alih fungsi lahan membuat harimau semakin sulit mencari makan.
“Masuknya harimau ke permukiman bisa dipicu oleh tekanan ekologi di habitatnya, seperti ruang jelajah atau ketersediaan mangsa yang berkurang. Karena itu, pendekatan mitigasi harus melindungi keselamatan masyarakat sekaligus satwa. TSI selama puluhan tahun melakukan rescue untuk harimau konflik, membangun bank genetik, dan memastikan pengembangbiakan yang sehat,” kata Aswin
Upaya penangkaran harimau sumatera juga membuahkan hasil dengan lebih dari 25 anakan yang telah dilahirkan. Anakan ini memperkaya cadangan genetik harimau sumatera di luar habitat alaminya.
“Sementara, kucing mas masih dalam tahap penelitian dan pengembangan penangkaran,” lanjutnya.
Baca juga: Bayi Panda Lahir di Taman Safari Bogor, Dinamai Satrio oleh Prabowo
TSI Cisarua belum memiliki program reintroduksi untuk salah satu mesokarnivora yang populasinya rentan di Sumatera ini. Sebab, masih diperlukan pemahaman mendalam terkait perilaku, kebutuhan habitat, dan kesiapan ekologi lokasi pelepasan. Meski begitu, TSI telah menghasilkan 10–15 anakan sebagai basis awal populasi cadangan.
Dalam seluruh program penangkaran, lanjut drh Bongot, TSI menerapkan prinsip ketat terkait pemuliaan terkontrol, terutama larangan inbreeding. Setiap perkawinan harus memiliki tujuan konservasi yang jelas, termasuk peningkatan keragaman genetik atau membantu pasangan yang belum memiliki keturunan.
“Guna menjaga kualitas genetik, TSI juga bekerja sama dengan berbagai lembaga konservasi domestik ataupun internasional, termasuk kebun binatang di Berlin, Jerman, untuk pertukaran satwa dan pembentukan pasangan baru yang lebih sehat secara genetik,” papar drh Bongot.
Meski demikian, konservasi eksitu bukan tanpa tantangan. Kucing mas, misalnya, dikenal agresif hingga kerap membunuh pasangannya. Oleh karena itu, terang drh Bongot, penjodohan harus dilakukan secara hati-hati.
Harimau sumatera pun menghadapi tantangan tersendiri, seperti agresi antarindividu atau ketidakpercayaan diri pada betina lantaran cacat. Dari sisi teknis, keterbatasan jumlah individu harimau membuat pilihan pasangan semakin sedikit sehingga inseminasi buatan kadang diperlukan.
Baca juga: Taman Safari Indonesia Resmikan Enchanting Valley, Destinasi Baru Penuh Wahana Seru di Puncak
Di segi ekologis, keberhasilan pelepasliaran sangat ditentukan oleh carrying capacity habitat. Tak semua spesies dapat dikembalikan ke alam lantaran habitat sejumlah satwa endemik telah berubah total.
Konflik manusia dengan satwa juga menjadi isu besar yang ditangani TSI. Edukasi kepada masyarakat sekitar hutan pun dilakukan secara aktif.
Kendati terdapat tantangan, upaya konservasi TSI memperlihatkan hasil optimal berkat kerja sama dengan para pemangku kepentingan.
“Kami berkolaborasi erat dengan pengelola taman nasional, pemerintah daerah, serta perusahaan swasta,” tambah drh Bongot.
Seluruh upaya konservasi yang dilakukan TSI Cisarua berpusat di Rumah Sakit Hewan Taman Safari. Berbagai fasilitas medis dan konservasi di pusat satwa itu dirancang untuk memastikan perawatan komprehensif dan mendukung fungsi edukasi publik.
Drh Bongot menyebut RS Hewan ini sebagai jantung dari seluruh upaya konservasi. Sebab, di sinilah penyelamatan, rehabilitasi, dan penelitian kesehatan satwa berlangsung secara simultan.
Untuk mendukung operasional rumah sakit, TSI Cisarua memiliki 8 dokter hewan. Secara keseluruhan, lembaga konservasi ini memiliki 26 dokter hewan yang ditempatkan di seluruh TSI Group, mulai dari TSI Cisarua, TSI Prigen, TSI Bali dan Marine Safari Bali, hingga Batang Dolphin Center.
RS Hewan TSI Cisarua memiliki fasilitas medis yang setara dengan rumah sakit modern, mulai dari ruang periksa yang dipisahkan untuk hewan kecil dan besar hingga layanan pencitraan diagnostik tingkat lanjut, seperti CT Scan large bore satu-satunya di Indonesia yang akan beroperasi pada akhir 2025.
Baca juga: Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya