Fasilitas CT Scan itu didukung ruang X-ray, ultrasound, serta ruang operator berlapis timbal. Teknologi diagnostik ini memungkinkan identifikasi kondisi satwa secara akurat dan aman.
“Rumah sakit baru ini memiliki luas tiga kali lipat ketimbang fasilitas lama. Bahkan, akan jadi rumah sakit satwa terbesar se-Asia Tenggara,” ujar drh Bongot.
Kehadiran laboratorium yang berfungsi sebagai pusat pendidikan, perawatan, dan pengembangan teknologi masa depan memperkuat peran TSI Cisarua sebagai lembaga konservasi berbasis sains.
Di dalamnya tersedia peralatan lengkap, mulai dari tabung nitrogen hingga inkubator sel, serta laboratorium bioteknologi berbasis PCR untuk deteksi penyakit dan penentuan jenis kelamin satwa melalui DNA.
Tersedia pula fasilitas lanjutan, seperti ruang operasi steril berbasis UV, ruang perawatan inap terpisah untuk kasus infeksius dan non-infeksius, serta fisioterapi dan perawatan akuatik untuk memastikan setiap satwa mendapat penanganan sesuai kebutuhan spesiesnya.
Perhatian khusus juga diberikan pada satwa muda melalui Infant Care Unit, tempat bayi satwa dirawat ketika induknya tidak mampu mengasuh.
Baca juga: Harapan Baru Konservasi: Trio Anak Harimau Sumatera Terpotret di Way Kambas
Dengan inkubator modern serta susu formula khusus per spesies, unit tersebut membantu memastikan tumbuh kembang optimal anakan satwa sebelum menjalani proses reintroduksi ke kelompoknya.
Di fasilitas tersebut, terang drh Bongot, pengunjung nantinya juga dapat mengikuti program edukasi yang memungkinkan mereka melihat perawatan bayi satwa.
“Program tersebut akan memperkuat rasa empati dan kepedulian masyarakat, bahkan sejak dini, terhadap konservasi satwa liar,” imbuhnya.
Drh Bongot menyatakan, konservasi satwa endemik, baik kucing mas, harimau sumatera, maupun owa jawa, merupakan perlombaan melawan waktu.
Sebab, habitat asli satwa tersebut hilang lebih cepat ketimbang kemampuan satwa beradaptasi di tengah tantangan perubahan iklim.
“Apa yang kami lakukan di TSI tidak hanya menyelamatkan individu satwa. Kami tengah menjaga cerita evolusi yang berlangsung ribuan tahun agar tidak hilang begitu saja,” jelasnya.
Oleh karena itu, TSI tengah menyiapkan strategi jangka panjang, mulai dari riset penyakit berbasis genomik, perluasan fasilitas konservasi eksitu, pengembangan habitat semialami, penguatan pelepasliaran, hingga peningkatan kapasitas edukasi publik.
Seluruh strategi tersebut diarahkan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang satwa endemik.
Baca juga: Viral Penemuan Rafflesia Hasseltii, Pakar Unair Ingatkan Pentingnya Eksplorasi dan Konservasi
Aswin pun menekankan bahwa konsep eduwisata yang dihadirkan TSI Cisarua harus membuat pengunjung membawa kesadaran baru bahwa hidup manusia terhubung dengan keberlangsungan satwa liar.
“Jika generasi hari ini tidak memahami pentingnya konservasi, kita akan menjadi saksi kepunahan yang sebenarnya bisa dicegah. Oleh karena itu, edukasi adalah prioritas terbesar kami. Konservasi bukan hanya untuk hari ini, melainkan untuk masa depan kehidupan,” kata Aswin.
Ia menegaskan bahwa konservasi tidak bisa dilakukan lembaga, seperti TSI, saja. Pemerintah, ilmuwan, pemegang izin lahan, dan sektor swasta harus terlibat dalam pemulihan ekosistem.
“Konservasi adalah tanggung jawab bersama. Kalau kita gagal menjaga habitat, fasilitas eksitu, seperti TSI, hanya bisa menunda kepunahan, bukan mencegahnya,” imbuh Aswin
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya