Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fajar Setyaning Dwi Putra
Dosen

Akademisi dan Peneliti

Nestapa Gajah Sumatera

Kompas.com, 10 Desember 2025, 19:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

BANJIR bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dalam beberapa bulan terakhir kembali membuka luka lama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Air bah yang datang tiba tiba, membawa material lumpur, potongan kayu, serta puing permukiman, tidak hanya menelan korban jiwa manusia tetapi juga menyeret satwa liar ke dalam pusaran nestapa.

Di Aceh, perhatian publik tersita ketika sejumlah gajah Sumatera kembali dikerahkan untuk membantu membersihkan puing setelah banjir. Kehadiran gajah di tengah tumpukan reruntuhan memang menghadirkan pemandangan yang menggetarkan. Namun di balik itu, muncul pertanyaan etis dan ekologis yang tidak bisa diabaikan.

Apakah penggunaan gajah sebagai tenaga bantuan darurat benar benar mencerminkan kepedulian, atau justru menambah daftar panjang eksploitasi terhadap satwa yang kian terancam punah ini?

Gajah Sumatera hidup dalam tekanan yang semakin berat. Populasinya terus menurun akibat penyusutan habitat, fragmentasi hutan, dan perburuan. Banjir bandang yang terjadi di Aceh dan beberapa wilayah lain di Sumatera tidak dapat dipisahkan dari rusaknya daerah penyangga ekologis.

Laju deforestasi yang tinggi melemahkan kapasitas alam dalam menahan curah hujan yang ekstrem. Ketika hutan kehilangan tutupan, air meluncur cepat dari perbukitan menuju dataran rendah tanpa hambatan. Bencana ekologis ini bukan hanya persoalan alam semata, melainkan cermin dari pola pembangunan yang mengejar pertumbuhan jangka pendek dan mengorbankan keberlanjutan jangka panjang.

Baca juga: Kemenhut Buka Suara Soal Peran Gajah di Pidie Jaya: Prioritaskan Keselamatan Satwa dan Warga

Hubungan antara degradasi ekologis dan eksposur satwa liar terhadap risiko bencana telah lama dipetakan dalam kajian ekologi lanskap. Habitat gajah yang terpotong potong membuat mereka tidak lagi memiliki ruang jelajah yang memadai. Ketika bencana terjadi, gajah berada dalam posisi paling rentan. Mereka tidak hanya kehilangan sumber pakan tetapi juga terpapar pada situasi yang tidak alami seperti keramaian manusia, polusi suara, dan tumpukan puing yang berpotensi melukai.

Di tengah tekanan ini, penggunaan gajah sebagai tenaga pembersih pasca bencana perlu ditelaah secara kritis.

Praktik penggunaan gajah untuk kepentingan manusia sebenarnya bukan hal baru. Di Aceh, gajah memang telah lama dilatih untuk membantu patroli hutan dan mitigasi konflik manusia satwa. Dalam banyak kasus, gajah jinak yang berada di bawah Unit Konservasi Gajah berperan membantu menghalau kawanan liar agar tidak mendekati permukiman.

Namun pengerahan gajah ke lokasi pembersihan puing akibat banjir memiliki dimensi berbeda. Tugas ini bukan bagian dari perilaku alamiah mereka. Gajah dipaksa bergerak di antara besi bengkok, atap seng, kabel listrik, hingga sisa kayu yang tajam. Kondisi ini mengundang risiko cedera fisik serta stres psikologis yang dapat mengganggu kesejahteraan gajah dalam jangka panjang.

Dalam pendekatan etika konservasi, prinsip dasar yang harus dijaga adalah kesejahteraan satwa dan ketepatan konteks pemanfaatan. Gajah bukan alat berat. Mereka adalah makhluk hidup dengan kapasitas kognitif kompleks, emosi yang peka, dan ikatan sosial yang kuat.

Mendasarkan praktik pembersihan puing pada tubuh gajah berarti memindahkan risiko dari manusia ke satwa yang justru harusnya dilindungi. Argumentasi bahwa gajah digunakan karena dianggap lebih aman atau efisien perlu diuji dengan data yang objektif.

Di banyak negara, pembersihan pasca bencana lebih mengutamakan mesin dan peralatan yang memang dirancang untuk menanggung risiko struktur rusak.

Baca juga: Gajah Kerja Pascabanjir Sumatera, Apakah Etis? Ahli: Jangan Sampai Jadi Eksploitasi

Kajian akademik mengenai kesejahteraan satwa menunjukkan bahwa paparan pada lingkungan berbahaya dapat meningkatkan hormon stres dan mempengaruhi kesehatan jangka panjang. Bagi gajah, kondisi ini dapat memperburuk kerentanan terhadap penyakit.

Risiko lainnya adalah perubahan perilaku karena interaksi dengan material asing yang tidak dikenal dalam konteks alamiah mereka. Pada titik tertentu, penggunaan gajah bisa menyeberang dari tindakan penyelamatan menjadi bentuk eksploitasi terselubung yang dikemas sebagai kepedulian.

Namun perdebatan ini bukan bermaksud menyalahkan lembaga atau warga yang berupaya menangani situasi darurat. Masyarakat Aceh memiliki sejarah panjang hidup berdampingan dengan gajah. Dalam kondisi darurat, pilihan sumber daya sering sangat terbatas. Yang perlu diperkuat adalah perspektif ekologis yang lebih utuh.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Bencana Sumatera, BRIN Soroti Mitigasi Lemah Saat Siklon Senyar Terjadi
Bencana Sumatera, BRIN Soroti Mitigasi Lemah Saat Siklon Senyar Terjadi
Pemerintah
Nestapa Gajah Sumatera
Nestapa Gajah Sumatera
Pemerintah
Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Pemerintah
Menyelamatkan Spesies Endemik, Strategi Konservasi Taman Safari Indonesia di Era Perubahan Iklim
Menyelamatkan Spesies Endemik, Strategi Konservasi Taman Safari Indonesia di Era Perubahan Iklim
Swasta
Impor Limbah Plastik Picu Kenaikan Sampah Pesisir, Simak Penelitiannya
Impor Limbah Plastik Picu Kenaikan Sampah Pesisir, Simak Penelitiannya
LSM/Figur
Anak-anak Korban Bencana di Sumatera Dapat Trauma Healing
Anak-anak Korban Bencana di Sumatera Dapat Trauma Healing
Pemerintah
Cegah Deforestasi, Koalisi LSM Rilis Panduan Baru untuk Perusahaan
Cegah Deforestasi, Koalisi LSM Rilis Panduan Baru untuk Perusahaan
LSM/Figur
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
LSM/Figur
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Pemerintah
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
LSM/Figur
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
LSM/Figur
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
LSM/Figur
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau