KOMPAS.com - Produksi pangan dan bahan bakar fosil yang tak berkelanjutan menyebabkan kerusakan lingkungan senilai 5 miliar dollar Amerika Serikat (sekitar Rp 83,4 triliun) per jam, menurut laporan Global Environment Outlook (GEO) PBB.
Dibuat oleh 287 peneliti untuk Environment Programme PBB, laporan ini mendesak semua pihak untuk menyadari urgensi krisis lingkungan global, dilansir dari laman resmi UN Environment Programme.
Baca juga:
"Ini adalah seruan mendesak untuk mentransformasi sistem manusia kita sekarang sebelum keruntuhan menjadi tak terhindarkan,” kata co-chair penilaian studi tersebut, sekaligus mantan Menteri Lingkungan Hidup Kosta Rika, Prof. Edgar Gutiérrez-Espeleta, dilansir dari The Guardian, Rabu (10/12/2025).
Krisis lingkungan dinilai memburuk seiring bertambahnya populasi global dan kebutuhan akan lebih banyak makanan dan energi, yang mana sebagian besar diproduksi dengan cara yang mencemari planet dan menghancurkan alam.
Laporan Global Environment Outlook (GEO) PBB menyebut produksi pangan dan energi fosil tak berkelanjutan sebabkan kerusakan lingkungan Rp 83 triliun.Peneliti menyebut dunia yang berkelanjutan dapat terwujud, tapi membutuhkan keberanian politik.
"Ilmu pengetahuan sudah bagus. Solusinya sudah diketahui. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk bertindak dalam skala dan kecepatan yang dituntut oleh sejarah," ucap Gutiérrez-Espeleta.
Para ahli mengakui bahwa situasi geopolitik saat ini sulit, dengan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump. Hal tersebut ditambah beberapa negara lain dan kepentingan korporasi yang berupaya menghalangi tindakan lingkungan.
Laporan GEO menekankan, biaya untuk aksi iklim merupakan keputusan ekonomi yang tepat karena lebih kecil dibanding jika tidak bertindak.
Laporan tersebut memperkirakan, manfaat dari aksi iklim saja akan bernilai 20 triliun dollar AS per tahun pada 2070 hingga 100 triliun dollar AS pada 2100.
"Kita membutuhkan negara-negara dan sektor swasta yang memiliki visi untuk mengakui bahwa mereka akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dengan mengatasi masalah-masalah lingkungan ini daripada mengabaikannya," kata co-chair penilaian studi tersebut, Prof. Robert Watson.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya