Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap kali bencana datang, bangunan yang roboh bukan satu-satunya yang berubah menjadi puing. Ada hal lain yang ikut retak dan sering kali tak terlihat, yakni ruang aman bagi perempuan.
Di tenda-tenda pengungsian yang dibangun tergesa, di lorong-lorong gelap menuju MCK, di tempat tidur darurat yang tak memiliki sekat, perempuan harus berjaga lebih lama, lebih waspada, dan lebih sering mengalah.
Ketika dunia runtuh, merekalah yang pertama merasakan geserannya, baik dari guncangan tanah, maupun dari perubahan sosial yang tiba-tiba kacau.
Pengalaman itu pernah dialami perempuan di Sulawesi Tengah. Kisah mereka terekam dalam film dokumenter dan buku Harapan Baru – Stories of Women’s Peace Movement in Central Sulawesi, yang memotret bagaimana perempuan menjadi penopang perdamaian setelah konflik Poso dan pemulihan bencana 2018.
Sebagian kisah itu diputar dalam acara nonton bareng dan diskusi “Perempuan Tangguh, Kita Tangguh – Cerita dari Sulawesi Tengah dan Sekitarnya” yang digagas UN Women PBB sebagai bagian dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), diperingati dari 25 November hingga 10 Desember 2025 pada Jumat (5/12/2025).
Baca juga: 4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
Melalui film dan ruang bincang itu, publik diajak untuk melihat apa yang sering tersembunyi bahwa perempuan bukan sekadar penyintas, tetapi penjaga harapan di masa-masa paling genting.
Di Sibalaya Utara, selepas gempa dan likuefaksi 2018, malam terasa lebih panjang, perempuan kerap tak bisa memejamkan mata dengan tenang.
Tenda pengungsian yang berdiri tanpa sekat, penerangan seadanya, dan setiap suara dari luar tenda terasa mencurigakan.
Fitrah, seorang relawan muda yang membantu penyintas, mengenang malam-malam itu.
Meraka terjaga bukan karena gempa susulan, tapi karena takut ada yang mengintip atau masuk.
Baca juga: Pengungsian Bencana Jadi Tempat Rawan Kekerasan Berbasis Gender bagi Perempuan
Perempuan saling membangunkan, saling mengantar ke MCK, dan memastikan tidak ada orang asing berkeliaran.
Di tempat yang seharusnya menjadi ruang perlindungan, rasa aman justru terasa paling tipis. Namun dari kegelisahan itu, mereka menemukan rumah pertama yang bisa dipercaya, yakni solidaritas sesama perempuan.
Kerentanan perempuan di Sulawesi Tengah tidak dimulai dari bencana 2018. Dua dekade sebelumnya, konflik Poso meninggalkan trauma yang panjang.
Di Buyo Katedo, tragedi 2001 merenggut 14 nyawa, mayoritas perempuan dan anak-anak. Kebun tempat tragedi terjadi berubah menjadi tempat yang dihindari, padahal itu sumber hidup warga.
Nurlaela Lamasitudju, salah satu penyintas, menyadari bahwa ketakutan hanya dapat dilewati ketika mereka berjalan bersama. Ia mengajak perempuan lain berkumpul, bercerita, dan perlahan kembali ke ruang-ruang yang dulu mereka tinggalkan.
“Kalau kami tidak bertemu, ketakutan itu mengurung kami,” ujarnya.
Pertemuan kecil itu menjelma menjadi ruang penyembuhan,tempat perempuan saling menegakkan punggung.
Di Kulawi Moma, perempuan pernah memegang peran penting dalam adat. Jabatan Tina Ngata—pemimpin perempuan kampung—pernah menjadi pusat pengambilan keputusan. Namun perlahan hilang, tersisih oleh struktur yang lebih patriarkis.
Rukmini Paata Toheke menghidupkannya kembali. Ia memimpin musyawarah adat, merajut kembali keluarga yang retak oleh konflik, meninjau aturan waris yang merugikan perempuan, hingga terlibat dalam pencegahan pernikahan dini bagi perempuan di kampungnya.
Langkah Rukmini mungkin tampak kecil. Namun dalam masyarakat adat, satu perubahan dapat membuka jalan bagi generasi perempuan berikutnya.
Di Donggala, setelah tsunami menghancurkan rumahnya, Martince Baleona memilih berada di dapur umum untuk menjadi relawan.
Ia memasak dari pagi hingga malam, mencatat siapa yang belum mendapat makanan, memastikan tak ada yang terlewat.
“Kalau semua makan, saya ikut merasa hidup,” katanya.
Dapur umum bukan hanya perut komunitas,melainkan nadi sosial. Di sinilah, tempat orang mengukur kembali hari, berbagi kabar, dan menyusun keberanian.
Pengalaman perempuan Sulawesi Tengah mengajarkan bahwa kerentanan perempuan pada masa bencana bukan kebetulan, tetapi akibat dari beberapa faktor, yakni norma sosial yang meminggirkan perempuan, akses informasi dan sumber daya yang terbatas, beban domestik yang meningkat di situasi krisis, ketergantungan pada fasilitas publik yang sering kolaps saat bencana, dan minimnya representasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
Ketika ruang publik melemah, ruang privat juga tidak aman. Ketika sistem perlindungan belum hadir, perempuan terpaksa menciptakan perlindungan sendiri.
Menurut aktivis kemanusiaan dan Manajer Program Yayasan Kerti Praja (YKP) Dinar Lubis, hari-hari pertama pascabencana adalah masa paling genting bagi perempuan.
Talkshow Perempuan Tangguh, Kita Tangguh ? Cerita dari Sulawesi Tengah dan Sekitarnya yang digagas UN Women PBB, Jumat (5/12/2025), sebagai bagian dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), diperingati dari 25 November hingga 10 Desember 2025.“Perilaku antisosial bisa muncul kapan saja, mulai dari penjarahan, konflik, sampai kekerasan berbasis gender (KBG),” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat.
Minimnya pengawasan membuka ruang bagi pelaku memanfaatkan situasi. Tanpa sekat, tanpa penerangan, tanpa mekanisme pelaporan, perempuan berada di garis paling rawan.
Dinar mencatat bahwa pada salah satu respons bencana yang pernah ia tangani, layanan kesehatan reproduksi (Kespro) baru berdiri setelah 45 hari.
“Keterlambatan layanan reproduksi bukan hanya soal medis. Ini bisa menjadi bentuk kekerasan struktural,” ujarnya.
Pengalaman Sulawesi Tengah menunjukkan pola yang sama, sebelum tenda Kespro dan ruang ramah perempuan berdiri, perempuan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Karena sistem formal lambat, perempuan membangun perlindungan informal. Mereka membentuk kelompok penjaga, saling mengantar ke MCK, menjaga anak-anak, hingga saling memperingatkan jika ada orang mencurigakan.
Menurut Dinar, pengalaman panjang perempuan di tengah krisis berlapis menjadi pengingat bahwa perlindungan perempuan tidak boleh dimulai saat bencana sudah terjadi.
Sebaliknya, rencana kesiapsiagaan harus memasukkan kebutuhan perempuan sejak awal, termasuk jalur evakuasi yang mempertimbangkan keselamatan perempuan dan anak, penerangan memadai di pengungsian, petugas terlatih perspektif gender, mekanisme pelaporan yang mudah diakses, hingga informasi layanan KBG yang ditempel di setiap tenda.
Regulasi sebenarnya sudah ada, yakni Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana 2024 yang telah menetapkan standar minimal pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (PPKPG) dalam penanggulangan bencana, mulai dari layanan 24 jam hingga keberadaan ruang ramah perempuan. Namun, implementasinya belum merata.
Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 juga mengingatkan betapa gentingnya persoalan ini. Sebab, satu dari empat perempuan Indonesia usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual.
Menurut Dinar, dinas kesehatan di setiap daerah sebenarnya memiliki Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk kondisi darurat, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual. Namun, tanpa sosialisasi massif dan rutin, informasi ini jarang diketahui masyarakat.
“Padahal, nomor layanan yang di tempel di camp-camp pengungsian itu bisa menyelamatkan nyawa,” tegasnya.
Sayangnya, kata Dinar lagi, banyak pula perempuan tidak sadar bahwa yang mereka alami adalah kekerasan.
“Kalau pun sadar, mereka tidak tahu harus melapor ke mana. Itulah mengapa pemberdayaan bukan sekadar pelatihan, tetapi membangun kesadaran kritis,” ujarnya.
Dinar menyayangkan, norma kerap menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengalah terhadap banyak hal. Terlebih, perempuan juga memiliki kecenderungan terlalu percaya kepada orang lain.
“Daya kritis mereka tak terasah dengan baik sehingga membuat mereka sulit mengenali risiko (saat dalam bahaya)," ujarnya.
Pada momen peringatan 16 HAKTP, Indonesia perlu belajar dari Sulawesi Tengah dengan memahami bahwa dalam negeri yang rawan bencana ini, kita tidak bisa lagi menempatkan perempuan di pinggir. Perempuan harus berada di pusat perencanaan, pusat pengambilan keputusan, dan pusat pemulihan.
Karena ketika perempuan dilindungi, komunitas selamat. Ketika perempuan diberdayakan, bencana bisa dihadapi dengan lebih manusiawi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya