KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan laju pengasaman laut di Perairan Paparan Sunda terjadi dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global.
Kawasan Paparan Sunda mencakup perairan barat Indonesia, Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna, Selat Karimata, dan Laut Jawa.
Peneliti Biogeokimia Laut BRIN, Aan Johan Wahyudi, mengatakan pH laut secara alami berada di kisaran 8,1. Penurunan kecil bisa berdampak signifikan pada organisme berkalsium di lautan.
“Penurunan pH laut sebesar 0,1–0,2 unit (misalnya dari 8,1 menjadi 7,9–7,8) dapat menurunkan ketersediaan ion karbonat secara signifikan dan berdampak pada organisme seperti karang dan kerang, yang artinya bisa sangat berdampak pada ekosistem laut,” ungkap Aan dalam keterangannya, ditulis Sabtu (13/12/2025).
Baca juga: Terumbu Karang Terancam Dikuasai Alga Tahun 2100 akibat Pengasaman Laut
Riset BRIN, Nanyang Technological University (NTU), dan National University of Singapore (NUS), menunjukkan bahwa tren penurunan pH mencapai minus 0,043 unit per dekade, dua kali lebih cepat daripada rata-rata global yakni minus 0,019.
Dia menjelaskan, pengasaman terjadi ketika karbon dioksida (CO2) dari atmosfer larut ke laut. Saat CO2 larut, sebagian kecil berubah menjadi asam karbonat, yang meningkatkan ion hidrogen lalu menurunkan pH. Dampaknya, terumbu karang, kerang, siput, maupun plankton sulit bertumbuh yang memengaruhi seluruh ekosistem di lautan.
Aan mengungkapkan, keanekaragaman hayati bakal menurun, produktivitas perikanan merosot, rantai makanan terganggu, dan pariwisata bahari pun terdampak.
Menurut dia, Paparan Sunda juga menghadapi tekanan tambahan berupa aliran karbon organik dari lahan gambut Sumatera dan Kalimantan. Bahan organik tersebut terbawa ke laut melalui sungai, kemudian terurai dan mempercepat penurunan pH.
“Di kawasan tropis seperti kita, proses biogeokimia lokal membuat pengasaman laut berlangsung lebih cepat,” kata Aan.
Baca juga: Suhu Laut Naik akibat Perubahan Iklim Bikin Siklon di Asia Makin Parah
Riset itu menghitung deteksi dini minimal dilakukan dalam lima tahun. Artinya, Indonesia bisa memproyeksikan perubahan kimia di lautan dengan akurasi tinggi dalam jangka waktu tersebut.
Ia lantas menekankan, pengasaman laut bukan proses yang bisa dihentikan secara instan. Namun, Aan menyampaikan beberapa langkah untuk memperlambatnya.
Pertama, mengurangi emisi karbon. Kedua, Indonesia perlu membangun sistem observasi laut nasional yang tidak hanya memantau aspek fisik, tetapi juga parameter kimia penting seperti pH, tekanan CO2, oksigen, dan nutrien.
“Pemantauan jangka panjang menjadi dasar mitigasi. Tanpa data yang lengkap dan konsisten, Indonesia tidak akan mengetahui kondisi laut secara akurat, sehingga kebijakan sulit disusun berdasarkan bukti,” jelas Aan.
Dia mengsulkan perlunya integrasi pemantauan fisik, kimia, dan biologi dalam satu sistem sesuai standar Global Ocean Observing System (GOOS).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya