KOMPAS.com - Juru Kampanye Kaoem Telapak, Ziadatunnisa, mengungkapkan masifnya ekspansi perkebunan sawit menyebabkan masyarakat adat sulit menjalankan tradisi seperti ritual maupun upacara adat sehingga pengetahun lokal ini terancam hilang.
Riset Kaoem Telapak terkait kebun sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Papua menujukkan, ekspansi industri tersebut memicu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terutama masyarakat adat.
“Salah satu poin penting yang kami awasi adalah perizinan, karena sering kali operasi sawit berjalan tanpa adanya izin, seperti di Riau. Kerusakan alam akibat ekspansi sawit berdampak langsung pada perempuan adat," ungkap Zia dalam keterangannya, Jumat (12/12/2025).
Di sisi lain, kekerasan berbasis gender terus meningkat. Berbdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komnas Perempuan, 35.533 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi pada 2024, meningkat 2,4 persen dibandingkan 2023.
Baca juga: Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
Selain itu, 290 kasus femisida terjadi. Akan tetapi. lanjut Zia, statistik tersebut belum mencatat kekerasan ekologis yang dialami perempuan akibat perampasan tanah dan kerusakan lingkungan.
Koordinator Nasional Famm Indonesia, Ija Syahruni, menilai bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak berdiri sendiri melainkan terhubung dengan arah pembangunan negara yang semakin bergantung pada industri yang menggerus hutan.
Menurut dia, negara memegang tanggung jawab utama untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan kerusakan ekologis yang mengancam masa depan generasi.
“Pada penutupan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2025 ini, kami menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak dapat diakhiri tanpa menghentikan kerusakan lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat," papar Ija.
Dari data Kementerian Kehutanan, deforestasi mencapai 175.4000 hektare (ha). Sementara, Kaoem Telapak melaporkan hilangnya 3 juta ha hutan akibat ekspansi sawit dalam dua dekade terakhir.
Baca juga: Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Meski tren 10 tahun menunjukkan penurunan deforestasi, nyatanya lonjakan dalam beberapa tahun terakhir menegaskan proyek-proyek ekstraktif tetap menjadi pendorong utama hilangnya hutan maupun peningkatan kerentanan ekologis.
Pihaknya menyatakan, hilirisasi dan proyek strategis nasional (PSN) turut memperburuk ketidakadilan gender, mulai dari hilangnya akses lahan yang memiskinkan perempuan dan memperbesar beban kerja, hingga krisis kesehatan akibat polusi industri yang meningkatkan penyakit pada ibu, bayi, anak, serta menambah kerja reproduktif perempuan.
“Perempuan di wilayah adat dan komunitas lokal selama ini menjaga keutuhan ruang hidup berupa alam dan hutan yang lestari. Karena itu, ketika membicarakan hubungan alam dan 16 HAKTP, pertanyaannya adalah bagaimana perempuan dapat terus bergantung pada alam jika ruang hidupnya diambil alih oleh negara maupun korporasi besar,” tutur Olvy Tumbelaka selaku Pengurus Kaoem Telapak.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya