Editor
JAKARTA, KOMPAS.com - International Civil Aviation Organization (ICAO) telah mengesahkan Palm Oil Mill Effluent (POME) sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF) dalam dokumen resmi “CORSIA Default Life Cycle Emissions Values for CORSIA Eligible Fuels.”
Penetapan ini dilakukan setelah proses evaluasi teknis selama satu tahun, melibatkan verifikasi ilmiah oleh Hasselt University serta Joint Research Centre (JRC) Komisi Eropa.
POME memperoleh nilai Life Cycle Assessment (LCA) sebesar 18,1 gCO2e/MJ, yang menunjukkan emisi lebih rendah dibandingkan avtur konvensional. Nilai ini selanjutnya menjadi default value bagi produsen SAF di seluruh dunia.
Proses pengajuan POME dimulai pada bulan November 2024 oleh Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri didukung oleh berbagai pihak khususnya Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) dan PT Tripatra.
Pengajuan mencakup pengumpulan data lapangan pada pabrik kelapa sawit (PKS), penyusunan working paper untuk ICAO’s Working Group 5, serta diskusi teknis dengan berbagai negara anggota.
POME diajukan sebagai residu proses pengolahan sawit yang tidak memiliki beban Indirect Land Use Change (ILUC), sehingga dinilai memenuhi kriteria keberlanjutan ICAO untuk jalur HEFA.
Kementerian Perhubungan melalui Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara, Sokhib Al Rokhman menyampaikan bahwa pencantuman POME dalam dokumen ICAO memberikan kerangka ilmiah yang jelas dalam pengembangan SAF domestik.
“Dengan adanya default value, proses perhitungan emisi menjadi lebih sederhana dan dapat digunakan langsung oleh produsen di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (12/12/2025).
Dewan Pengawas IPOSS, Sofyan Djalil, mengatakan bahwa pengakuan ini menambah pemanfaatan baru bagi industri sawit.
“POME selama ini dipandang sebagai limbah, dan kini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pesawat karena memenuhi kriteria keberlanjutan,” ujarnya.
Kementerian Luar Negeri melalui Direktur Sosial Budaya dan Kemitraan Strategis, Ary Aprianto, menjelaskan bahwa pengakuan ICAO terhadap POME merupakan hasil harmonisasi data dan proses pembuktian ilmiah.
“POME memenuhi persyaratan ICAO sebagai feedstock SAF dan telah dievaluasi secara metodologis oleh lembaga internasional,” katanya.
Dalam aspek teknis, Wendy Aritenang selaku perwakilan Indonesia untuk SCSEG- CAEP-ICAO menjelaskan bahwa data Indonesia konsisten dengan standar evaluasi ICAO.
“Pengukuran lapangan menunjukkan rentang nilai LCA yang sesuai dengan analisis yang diajukan, sehingga POME dapat diterima sebagai bahan baku,” ujarnya.
PT Tripatra, selaku mitra teknis, menambahkan bahwa hasil pengukuran POME di Indonesia berada pada kisaran 17,5–18,8 gCO2e/MJ sebelum dirata-ratakan menjadi angka 18,1 gCO2e/MJ.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya