KOMPAS.com - Riset CELIOS mengungkapkan, mayoritas orang tua belum merasakan perubahan perilaku belajar yang signifikan usai anak menerima program makan bergizi gratis (MBG).
Sebesar 51,82 persen responden menilai tidak ada perubahan tingkat keaktifan dan fokus anak di sekolah. Sedangkan sekitar 28,89 persen responden menyatakan melihat adanya sedikit perubahan perilaku belajar anaknya. Sisanya, 16 persen responden menganggap anaknya menjadi lebih aktif dan fokus.
Baca juga: BPOM Ungkap Strategi Cegah Keracunan pada Program MBG
Namun, hampir semua responden pada tingkat pendapatan mengaku tidak ada perubahan perilaku belajar anaknya di sekolah, kecuali orang tua berpenghasilan lebih dari Rp 20 juta per bulan.
Temuan tersebut menandakan perlunya evaluasi untuk memastikan program MBG benar-benar memberikan manfaat bagi anak-anak dari keluarga dengan ekonomi rentan.
Selain itu, sekitar 54,99 persen responden menyatakan tidak perubahan perilaku rajin setelah anaknya menerima program MBG. Lalu, sebesar 9,12 persen responden menilai program MBG tidak mendorong anaknya menjadi lebih rajin di sekolah. Sementara 34,62 persen responden menyatakan anaknya semakin rajin di sekolah.
"Pengaruh penerimaan MBG terhadap persepsi orang tua bahwa anak lebih rajin, aktif, dan fokus di sekolah tidak signifikan secara statistik dan didukung oleh bukti empiris yang lemah," ujar Peneliti CELIOS, Isnawati Hidayah dalam webinar, Senin (15/12/2025).
Menurut Isnawati, pemerintah perlu mengevaluasi desain intervensi MBG, seperti kualitas menu, kecukupan gizi, mekanisme dan ketepatan waktu dalam distribusi, serta relevansinya terhadap kebutuhan belajar anak.
Apalagi, program MBG berskala nasional dengan anggaran sangat besar tidak menunjukkan perbaikan perilaku anak.
Tanpa perbaikan mendasar dalam kualitas dan pelaksanaannya, kata dia, MBG berisiko menjadi program berbiaya tinggi, dengan manfaat pendidikan yang minimal. Bahkan, program MBG berpotensi menciptakan efek kontraproduktif terhadap perkembangan anak.
Di sisi lain, masih sangat banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah karena kemiskinan ekstrem. Dalam konteks ini, patut dipertanyakan apakah anggaran pendidikan sebesar Rp 223 triliun, yang seharusnya memutus siklus kemiskinan dengan memperluas akses ke anak-anak kurang beruntung, justru tersedot untuk pembiayaan MBG pada tahun 2026.
"Ketika pemerintah ingin mencerdaskan anak dengan memberi makan satu kali dalam satu hari, tetapi mereka mengkerdilkan pendidikan Indonesia dengan mengurangi budget yang mendukung fasilitas akses inklusif dan juga infrastruktur pendidikan. Hal yang sangat aneh," ucapnya.
Dokter dan Ahli Gizi Masyarakat, Tan Shot Yen mengungkapkan laporan dari berbagai daerah di Indonesia tentang tentang penggunaan ultra-procesed food (UPF) dalam menu MBG. Di antaranya, biskuit, roti, sereal, sosis, nugget, hingga burger.
"Kalau tetap memberikan anak-anak kayak gini makanannya, maka BGN sedang membuat MBG itu kontributor gangguan metabolisme, gangguan fokus. Jadi, anak boro-boro menjadi pinter dan bisa belajar, (justru) menyebabkan obesitas, lalu performa akademiknya malah anjlok, gaya belajarnya ancur, dan risiko penyait jantung di kemudian hari, untuk anak-anak ini dan kematian dini," tutur Tan.
Riset ini memakai pendekatan metodologi campuran yang menggabungkan analisis kualitatif dan kuantitatif demi mendapatkan gambaran menyeluruh tentang implementasi maupun evaluasi program MBG.
Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan dan penerima manfaat.
Baca juga: Kemenko Pangan: MBG Kurang Ikan, Perlu Manfaatkan Pangan Akuatik
Untuk pendekatan kuantitatif dilakukan melalui metode survei nasional. Responden survei mencapai 1.868 orang, yang tersebar di berbagai daerah. Komposisi responden sudah mewakili keragamansosial dan demografis penduduk Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya