JAKARTA, KOMPAS.com - Riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa penciptaan lapangan kerja dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai masih terbatas, bersifat sementara, dan tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat.
Meski mayoritas responden dari berbagai kelompok sosial meyakini MBG dapat membuka peluang kerja baru, CELIOS mencatat hanya sebagian kecil masyarakat yang benar-benar terlibat dalam program tersebut.
Kondisi ini mencerminkan bahwa manfaat ekonomi MBG masih bersifat sempit dan eksklusif.
Peneliti CELIOS Isnawati Hidayah mengatakan, tingginya ekspektasi publik terhadap MBG tidak sepenuhnya sejalan dengan realitas di lapangan.
“Harapan masyarakat bahwa MBG bisa menggerakkan ekonomi lokal cukup tinggi, tetapi yang menikmati peluang kerja justru kelompok tertentu,” ujarnya dalam webinar, Senin (15/12/2025).
Berdasarkan hasil survei nasional CELIOS, 40,3 persen responden menyatakan lapangan kerja yang tercipta dari MBG hanya menyerap sebagian kecil warga. Adapun responden yang menilai banyak warga memperoleh pekerjaan tambahan hanya 36,39 persen.
Kelompok buruh atau pegawai tercatat sebagai kelompok yang relatif paling banyak merasakan manfaat ekonomi MBG.
Sebanyak 40,11 persen responden dari kelompok ini menyebut ada tambahan pekerjaan bagi warga. Namun, pada saat yang sama, 41,56 persen buruh atau pegawai menilai keterlibatan masyarakat dalam MBG tetap terbatas.
Sementara itu, ketimpangan lebih terasa pada kelompok pekerja bebas di sektor pertanian dan pekerja keluarga tidak dibayar. Lebih dari 30 persen responden dari kedua kelompok ini menyatakan tidak ada penambahan tenaga kerja di lingkungan mereka sejak MBG dijalankan.
CELIOS juga menyoroti dampak negatif MBG terhadap pelaku usaha kecil di sekitar sekolah. Kehadiran dapur-dapur besar penyedia MBG yang ditunjuk pemerintah dinilai memicu penurunan drastis penjualan kantin dan warung lokal.
“Dari warung, kantin, rumah makan, dan sejenisnya, ada potensi 1,9 juta pekerja kehilangan pekerjaan akibat program MBG,” kata Isnawati.
Menurut CELIOS, hingga kini belum ada kebijakan mitigasi yang memadai untuk melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak. Program MBG dinilai lebih banyak melibatkan dapur berskala besar dengan modal ratusan juta hingga miliaran rupiah, dibandingkan pelaku UMKM lokal.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyatakan program MBG berpotensi menciptakan 1,5 juta lapangan kerja baru, dengan asumsi penambahan sekitar 50 pekerja pada setiap 30.000 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG). Namun CELIOS menilai klaim tersebut belum memperhitungkan risiko hilangnya pekerjaan di sektor lain.
“Yang terjadi bukan penciptaan lapangan kerja bersih. Orang yang kehilangan pekerjaan justru lebih banyak,” ujar Isnawati.
Baca juga: MBG: Janji Kesehatan Anak Bangsa yang Terancam oleh Buruknya Tata Kelola
CELIOS juga menekankan perlunya verifikasi terhadap klaim penciptaan 1,5 juta lapangan kerja tersebut, mengingat pelaksanaan SPPG dinilai masih minim transparansi dan akuntabilitas, serta memunculkan berbagai persoalan ketenagakerjaan.
Riset CELIOS menggunakan metode campuran dengan menggabungkan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan dan penerima manfaat, sementara survei nasional melibatkan 1.868 responden dari berbagai wilayah di Indonesia dengan latar belakang sosial dan demografis yang beragam.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya