KOMPAS.com - Indonesia dinilai belum serius membangun sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana hidrometereologi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memang telah memberikan peringatan dini siklon tropis senyar di sebagian wilayah Sumatera beberapa hari sebelumnya. Namun, peringatan dini tersebut dinilai tidak menyertakan gambaran seberapa besar dampaknya dan bagaimana cara memitigasinya.
"Serius atau enggak sih bikin peringatan dini? Itu BMKG memang sudah memberikan warning (peringatan), kalau daerah melihatnya ya, 'Oh ada siklon', tapi dampaknya seperti kiamat kecil itu seharusnya dijelaskan atau diperlihatkan juga. Itu pendidikan untuk masyarakat dan pejabat harus kita upgrade (tingkatkan)," kata Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Iwan Ridwansyah dalam webinar beberapa hari lalu.
Baca juga:
Dalam kesiapan dalam menghadapi bencana, dari segi peringatan dini, Indonesia tergolong sedang. Sementara itu, peringatan dini di Jepang dan Amerika Serikat (AS) sudah sangat maju. Misalnya, saat sistem peringatan dini dikeluarkan, otomatis berbunyi secara serentak pada semua telepon tanpa peduli siapa operator telekomunikasi selulernya.
Dari aspek evakuasi, Indonesia juga dinilai masih tidak konsisten. Padahal, Jepang sudah tersistem dan AS terkoordinasi. Negara-negara maju sudah membuat rute evakuasi dengan papan tanda standar internasional. Jadi, sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelum bencana terjadi.
"Shelter (pengungsi atau tempat penampungan sementara di Indonesia) enggak jelas di mana lokasinya, memang pemda (pemerintah daerah) menempatkan shelter yang aman dari bencana? Kan enggak juga karena memang potensi bencananya itu belum dihitung secara detail," tutur Iwan.
Dari segi infrastruktur, Indonesia bersifat variatif atau tergantung tempat. Sementara itu, Jepang memiliki infrastruktur tahan badai dan AS sudah menerapkan storm barriers.
Indonesia perlu menjadi curah hujan tertinggi selama siklon tropis senyar atau 411 milimeter per hari di Kabupaten Bireuen sebagai titik acuan (baseline) dalam menghadapi bencana ke depannya.
"Bangun jembatan itu harus pakai standar itu tentunya. Kalau enggak, jika terjadi lagi dalam 10 tahun ke depan, ambruk jembatannya, tidak mampu menahan itu," ucapnya.
Baca juga:
Masjid di asrama putra Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang masih berdiri kokoh di antaranya tumpukan kayu yang terbawa arus banjir dan tanah longsor, Jumat (13/12/2025).Dari aspek pendanaan, Indonesia memang sangat terbatas jika dibandingkan Jepang dan AS. Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara-negara Asia Tenggara lain dalam memitigasi bencana, termasuk memprediksi ancaman ke depannya.
Menurut Iwan, di negara-negara maju, koordinasi antar-instansi dalam menghadapi bencana sudah terbentuk dengan baik. Mereka memiliki sistem komando terpadu, tim SAR khusus sikln, kendaraan amphibious, helikopter medis, serta logistik sudah dipindahkan ke wilayah rawan sebelum siklon tiba.
"Enggak seperti sekarang, rakyat yang kelaparan, sampai mereka minum air lumpur, kan berarti itu kesiapan ini enggak ada sama sekali," ujar Iwan.
Ke depan, kata dia, Indonesia perlu memodernisasi radar cuaca dan sensor hujan, monitoring daerah aliran sungai (DAS) berbasis satelit dan IoT, serta memudahkan akses data untuk periset kebencanaan.
"Ini saya sudah beberapa kali, ada bencana-bencana yang kami coba teliti, tetapi untuk mendapatkan ini (akses data), meminta data, malah ditagih bersama kuitansi yang (harganya Rp) 9 juta ke atas itu untuk mendapatkan data itu, BRIN enggak ada pendanaan untuk mendapatkan data hujan ataupun data iklim," tutur Iwan.
Baca juga: Bibit Siklon Tropis 91S Muncul di Samudera Hindia, Apa Dampaknya untuk Sumatera?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya