JAKARTA, KOMPAS.com - Indeks Investasi Hijau III 2025 yang dirilis Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) menyatakan, bank nasional berada di posisi teratas dalam menjalankan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, and governance atau ESG).
Laporan tersebut menggunakan laporan keberlanjutan dan laporan tahunan 13 bank nasional dan bank asing.
Baca juga:
Peneliti IWGFF, Marius Gunawan mengatakan, capaian ini didorong oleh penguatan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta perbaikan sistem internal perbankan dalam negeri.
"Untuk papan atas, dari nilai 84 ke atas ada Panin, Mandiri, BCA, BNI, BRI, Danamon, BSI, SMBC, dan CIMB Niaga. Lalu untuk papan tengah dari (skor) 82,3 ke 84,5, di situ ada OCBC, DBS dan Permata. Untuk yang bawah ada Citibank jadi kami bisa melihat bahwa ada pergeserannya dari sejak 2018," kata Marius di Jakarta Timur, Senin (15/12/2025).
Dia merincikan, skor pengelolaan risiko, sektor ekonomi prioritas berkelanjutan, dan peningkatan kapasitas serta kepemimpinan kolaboratif Bank Panin adalah 20 dari angka maksimal 20. Skor tata kelola lingkungan sosial dan pelaporan 15 per 20.
"Sebenarnya yang paling menonjol dari Panin adalah mereka secara eksplisit mengungkapkan bahwa mereka juga menggunakan indikator untuk persetujuan dari masyarakat. Setiap investasi, mereka ingin tahu juga apakah masyarakat mendukung proyek yang diinvestasikan," jelas Marius.
Baca juga:
Peneliti IWGFF, Marius Gunawan, menjelaskan soal peringkat ESG perbankan, Senin (15/12/2025). Dalam tujuh tahun terakhir, lanjut Marius, bank-bank di dalam negeri juga memperbaiki sistem ESG di samping pemberlakuan regulasi. Selain itu, keberlanjutan menjadi strategi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menarik investor.
Namun, laporan Indeks Investasi Hijau III 2025 menyoroti adanya kesenjangan antara komitmen dan praktik di lapangan.
IWGFF menemukan sejumlah pembiayaan perbankan yang masih mengalir ke aktivitas yang merusak lingkungan, khususnya di Jambi, Gorontalo, dan Kalimantan Timur.
"Dalam monitoring lapangan di tiga daerah itu kami temukan bahwa justru masih ada perusahaan-perusahaan, investasi-investasi di lapangan yang juga didukung oleh perbankan yang justru dikategorikan sebagai merusak lingkungan," tutur Marius.
Salah satu penyebabnya, penyusunan laporan keberlanjutan yang lebih berorientasi pada kebutuhan investor. Dengan demikian, laporan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
"Tentu saja ini menjadi tantangan bagaimana supaya laporan yang ada di sustainable development dan laporan tahunan itu benar-benar sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan," ucap dia.
Baca juga: Asia ESG PIA Digelar, Pertemukan 39 Perusahaan yang Berkomitmen Jalankan ESG
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya