Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Iklim Makin Kencang, Jutaan Orang di 3 Benua Dicengkeram Panas Ganas

Kompas.com - 20/07/2023, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Jutaan orang di tiga benua dicengkeram panas ekstrem pada Rabu (19/7/2023). Pada Juli, dunia sepertinya kembali memecahkan rekor bulan terpanasnya.

Ketika panas ekstrem terjadi di tiga benua, para ahli menyebutkan bahwa perubahan iklim sebagai faktor utama penyebabnya.

Perubahan iklim disebabkan aktivitas manusia yang terlalu banyak membakar bahan bakar fosil, menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang memerangkap lebih banyak panas matahari.

Baca juga: Alarm Krisis Iklim, Suhu China Tembus 52 Derajat, AS Dilanda Gelombang Panas Ekstrem

Eropa

Di Yunani, kebakaran hutan berkobar hebat. Dipicu angin kencang, si jago merah mengamuk di sebelah barat ibu kota, Athena.

Masih di Yunani, di pulau wisata Rhodes, para penduduk juga menghadapi ancaman kebakaran hutan, sebagaimana dilansir AFP.

Petugas pemadam kebakaran Yunani mengatakan bahwa Romania, Slovakia, dan Polandia akan mengirim sekitar 230 petugas untuk membantu mengatasi kobaran api.

Sementara itu, Perancis melaporkan suhu hingga 40 derajat celsius di wilayah selatan negara, termasuk di pulau wisata Corsica.

Baca juga: AS Janjikan Rp 749 Miliar Dukung Upaya Iklim dan Konservasi Indonesia

Panas yang ganas juga terjadi di sejumlah wilayah Spanyol. Tiga wilayah di negara tersebut mengeluarkan waspada merah.

Perairan pesisir di sekitar Spanyol telah mencatatkan rekor suhu tertinggi sepanjang tahun ini.

Di Kepulauan Canaria, sekitar 400 petugas pemadam kebakaran berjuang memadamkan api yang telah melalap 3.500 hektare hutan dan memaksa 4.000 penduduk mengungsi.

Otoritas setempat memperingatkan penduduk untuk memakai masker di luar ruangan karena kualitas udara yang buruk.

Pulau Sardinia dan Sisilia di Italia diperkirakan akan melampaui rekor 48,8 derajat celsius yang pernah tercatat pada Agustus 2021.

Baca juga: Menuju COP28, Menanti KTT Iklim yang Ambisius

Asia

Ilustrasi pemanasan globalrottadana Ilustrasi pemanasan global

Ibu kota China, Beijing, melaporkan suhu di atas 35 derajat celsius selama 27 hari berturut-turut, memecahkan rekor selama 23 tahun terakhir.

Pemerintah Beijing mendesak orang tua untuk tinggal di rumah dan meminta anak-anak mempersingkat waktu bermain di luar ruangan untuk mengurangi paparan panas.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, panas ekstrem membebani sistem perawatan kesehatan serta membahayakan orang tua, bayi dan anak-anak.

Orang-orang dengan dengan penyakit kardiovaskular, diabetes, dan asma juga sangat rentan terhadap serangan panas.

Di Irak, yang terbiasa dengan suhu rata-rata Juli sekitar 32 derajat celsius, merasa sulit untuk mengatasi gelombang panas.

Wali Kota Basrah memberikan hari libur kepada pegawai negeri pada Kamis (20/7/2023) ketika suhu diperkirakan mencapai 50 derajat celsius atau lebih.

Baca juga: Pekan Pertama Juli Pecahkan Rekor Terpanas, Alarm Krisis Iklim Makin Nyaring

Amerika

Di Amerika Utara, puluhan juta orang pada Rabu kembali menghadapi teriknya panas matahari yang ganas setelah mengalami panas yang berbahaya pada hari sebelumnya.

Di San Angelo, Texas, Amerika Serikat (AS), suhu diperkirakan mencapai 42 derajat celsius.

Dan di Bandara Phoenix Sky Harbor, Arizona, AS, kembali melaporkan suhu di atas 43 derajat celsius pada Selasa (18/7/2023).

Selama 18 hari berturut-turut, wilayah tersebut mencatatkan suhu setara atau di atas 43 derajat celsius.

Baca juga: Perubahan Iklim Sebabkan Hujan Makin Lebat dan Cuaca Ekstrem, Bencana Mengintai

Juli yang panas

Layanan iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S), melaporkan bahwa awal Juli sangatlah panas.

“15 hari pertama bulan Juli merupakan rekor 15 hari terhangat,” kata Direktur C3S Carlo Buontempo.

Salah satu institut iklim di Perancis, Institut Pierre-Simon Laplace, menyebutkan bahwa gelombang panas dan panas ganas yang terjadi di dunia bukanlah fenomena tunggal.

“Bukan satu fenomena tunggal tetapi beberapa tindakan pada waktu yang sama,” kata Direktur Institut Pierre-Simon Laplace Robert Vautard.

“Tapi semuanya diperkuat oleh satu faktor: perubahan iklim,” sambungnya.

Baca juga: Dampak Jangka Panjang Perubahan Iklim Berdasarkan Benua

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau