Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/10/2023, 07:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

KOMPAS.com - Badan penasihat PBB akan mengkaji risiko, peluang, dan tata kelola internasional dari pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengungkapkan kemajuan luar biasa dalam kemampuan dan penggunaan AI selama setahun terakhir, termasuk melalui chatbots, kloning suara, generator gambar, dan aplikasi video.

Menurutnya, potensi transformatif AI untuk kebaikan bersama bahkan sulit untuk dipahami. Guterres juga menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah ini, ketika negara-negara menghadapi dampak perubahan iklim dan upaya menuju pembangunan berkelanjutan terhenti.

Baca juga: Schneider Electric Beri Panduan untuk Memaksimalkan Potensi Data Center dan AI

“AI dapat membantu membalikkan keadaan tersebut. Hal ini dapat meningkatkan aksi iklim dan upaya untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030," cetus Guterres.

Dia juga yakin bahwa AI dapat meningkatkan dan memperkuat pekerjaan pemerintah, masyarakat sipil, dan PBB,  mulai dari memprediksi dan mengatasi krisis, hingga meluncurkan layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan.

Potensi dan kendala

Bagi negara-negara berkembang, pemanfaatan AI bisa untuk melewati teknologi usang yang sudah ketinggalan zaman. Dengan AI pula, layanan bisa langsung diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan, dan tepat sasaran.

Namun demikian, hal ini akan bergantung pada pemanfaatan AI secara bertanggung jawab dan dapat diakses oleh semua orang.

Saat ini, keahlian terkonsentrasi di beberapa perusahaan dan negara, yang menurut Guterres dapat memperdalam kesenjangan global dan mengubah kesenjangan digital menjadi jurang pemisah.

Baca juga: Cetia, Robot Bertenaga AI yang Bisa Menyortir Sampah Tekstil

Potensi kerugian yang dapat ditimbulkan mencakup percepatan penyebaran misinformasi dan disinformasi, menguatnya bias dan diskriminasi, pengawasan dan pelanggaran privasi, penipuan, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Selain itu, penggunaan yang tidak semestinya dari AI dapat merusak kepercayaan terhadap institusi, melemahkan kohesi sosial, dan mengancam demokrasi.

Pada awal peluncuran, Guterres menceritakan “pengalaman nyatanya” dengan sebuah aplikasi video, di mana ia menyaksikan dirinya menyampaikan pidato dalam bahasa Mandarin yang sempurna. Bibirnya bergerak selaras dengan setiap kata, meskipun ia tidak bisa berbahasa Mandarin. .

“Ini hanyalah salah satu contoh dari kemungkinan yang luar biasa sekaligus dan potensi bahaya dari AI,” katanya.

Untuk diketahui, Badan Penasihat PBB terdiri dari 39 ahli dari seluruh dunia. Keanggotaannya seimbang secara gender, beragam secara geografis, dan multigenerasi.

Badan ini diharapkan dapat membuat rekomendasi pada akhir tahun mengenai bidang tata kelola AI secara internasional, berbagi pemahaman mengenai risiko dan tantangan, serta peluang dan faktor penting dalam memanfaatkan AI untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Baca juga: Aku Pintar Indonesia, Integrasikan AI Berbasis Kurikulum Merdeka

Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan digunakan dalam persiapan KTT Masa Depan pada bulan September mendatang, yang bertujuan untuk menegaskan kembali komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.

Khususnya dalam negosiasi seputar usulan Global Digital Compact yang bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang mendapat manfaat di era teknologi baru.

Menuju tata kelola AI yang efektif

Utusan Sekretaris Jenderal PBB bidang Teknologi Amandeep Singh Gill menuturkan, para ahli dapat mengatasi misinformasi dan disinformasi, mengingat upaya tata kelola global tidak sejalan dengan kemajuan AI.

Ia mengatakan, para anggotanya menyatukan keahlian terkini tentang bagaimana teknologi berdampak pada masyarakat, perekonomian dan politik.

“Sehingga dengan cara ini kita akan mampu mengurangi kesenjangan antara kemajuan teknologi, batasan teknologi, dan batasan respons tata kelola," imbuh Singh.

Baca juga: Dukung Perdagangan Karbon, IDCTA Gelar Carbon Digital Conference 2023

Mereka juga akan melihat respons terhadap tantangan-tantangan yang muncul dan kesenjangan yang ada, sehingga tata kelola AI bisa lebih efektif.

“Ini adalah langkah pertama menuju arah tersebut, dan kami berharap dapat melakukan langkah serupa lebih banyak lagi pada tahun depan,” kata Singh.

Menurutnya, Global Digital Compact memiliki peluang untuk memasukkan hal ini ke dalam perspektif jangka panjang yang lebih berkelanjutan sehingga kita tidak terjebak oleh perkembangan teknologi yang pesat.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com