KOMPAS.com – Disrupsi artificial intelligence (AI) telah membawa perubahan dan tantangan yang signifikan dalam desain dan operasi data center.
Saat ini, pemanfaatan AI semakin luas dan berdampak pada ragam sektor industri, mulai dari perawatan kesehatan, keuangan, manufaktur, transportasi, hingga hiburan.
Kondisi tersebut pada akhirnya berdampak pada permintaan daya pemrosesan yang lebih tinggi. Guna mengatasinya, data center harus beradaptasi secara efektif untuk memenuhi kebutuhan daya yang terus berkembang dari aplikasi berbasis AI.
Pemanfaatan AI secara global diproyeksikan akan terus meningkat dengan laju pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 26-36 persen pada 2028.
Baca juga: Baca juga: Schneider Electric Luncurkan Sustainability School di Indonesia, Bisa Diakses Gratis
Menurut studi yang dirilis oleh firma konsultan Kearney, Indonesia memiliki potensi peningkatan ekonomi pada 2030 mencapai 366 miliar dollar AS atau Rp 5.371 triliun jika menerapkan AI pada semua lapangan usaha.
Secara vertikal, perkembangan AI ini akan berdampak pada peningkatan permintaan daya di data center. Permintaan kebutuhan energi pun diproyeksikan akan meningkat.
Hal itulah yang mendasari perusahaan transformasi digital dalam pengelolaan energi dan automasi, Schneider Electric, meluncurkan panduan berjudul Disrupsi AI: Tantangan dan Panduan untuk Desain Data Center.
Baca juga: Schneider Electric Bikin Panduan Dasar untuk Bantu Perusahaan Lakukan Dekarbonisasi
Panduan cetak biru tersebut memaparkan beberapa pertimbangan utama terkait empat kategori infrastruktur fisik, yaitu daya, pendinginan, rak, dan perangkat lunak.
Business Vice President Secure Power Schneider Electric Indonesia dan Timor Leste Yana Achmad Haikal mengatakan, pada era AI seperti sekarang, panduan terbaru Schneider Electric membuka jalan bagi bisnis untuk merancang data center yang tidak hanya mampu mendukung AI, tetapi juga dioptimalkan sepenuhnya untuk AI.
“Panduan ini memperkenalkan konsep-konsep inovatif dan praktik-praktik terbaik, yang sekaligus memposisikan Schneider Electric sebagai pelopor dalam evolusi infrastruktur data center,” kata Yana dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (22/9/2023).
Baca juga: Baca juga: 3 Tahapan Penting Mewujudkan Bangunan Zero Carbon
Aplikasi AI, lanjutnya, sangat intensif dalam hal komputasi dan membutuhkan daya pemrosesan dalam jumlah besar yang disediakan oleh graphic processing unit (GPU) atau akselerator khusus AI. Hal ini memberikan beban yang signifikan pada daya dan infrastruktur pendingin data center.
“Seiring dengan meningkatnya biaya energi dan pemenuhan kepatuhan terhadap praktik sustainability, data center harus berfokus pada perangkat keras yang hemat energi, seperti sistem daya dan pendingin berefisiensi tinggi, serta pemanfaatan sumber daya terbarukan untuk membantu mengurangi biaya operasional dan jejak karbon," jelas Yana.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya