KOMPAS.com – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai penyusunan dokumen rencana investasi dan kebijakan komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) kurang transparan.
Sejak diluncurkan dalam KTT G20 di Bali pada November 2022, JETP ditargetkan menghasilkan dokumen CIPP selang enam bulan setelah sekretariat JETP dibentuk.
Awal, CIPP sedianya ditargetkan rampung pada Agustus 2023. Akan tetapi, penyusunannya molor dan dimundurkan hingga akhir November 2023.
Baca juga: Dana JETP Jauh dari Cukup untuk Transisi Energi Indonesia
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, proses penyusunan dokumen CIPP minim transparansi dan partisipasi publik. Perkembangan penyusunan CIPP juga tidak diketahui oleh publik.
Menyikapi hal tersebut, organisasi masyarakat sipil menyusun kertas putih atau white paper untuk memberikan kritik dan masukan terhadap proses penyusunan dari substansi CIPP.
Kertas putih tersebut ditulis oleh Trend Asia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Center of Economic and Law Studies (Celios), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Yayasan Indonesia Cerah.
Direktur Eksekutif dan Ekonom Celios Bhima Yudhistira mengatakan, model pendanaan JETP sebaiknya tidak menitikberatkan pada penambahan beban anggaran negara dalam bentuk pinjaman.
Salah satu contohnya adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Seharusnya, fokusnya bisa dilakukan dalam berbagai bentuk pembiayaan yang kreatif.
Baca juga: Bijak Mengelola Pendanaan JETP untuk Transisi Energi Berkeadilan
Selain itu, peran pemerintah daerah (pemda) juga dinilai masih minim dalam JETP. Padahal, pemda harus lebih banyak dilibatkan dalam penyusunan CIPP.
“JETP ini kan mengangkat soal transisi berkeadilan, jadi pemda harus aktif dilibatkan mulai dari rancangan investasi di sektor energi terbarukan, hingga mengantisipasi dampak transisi energi terhadap berbagai indikator ekonomi dan lingkungan di masing-masing daerah,” ucap Bhima dalam keterangan tertulis dilansir dari situs web Celios, Kamis (26/10/2023).
Menurut Peneliti ICEL Syaharani, ada dua infrastruktur penting yang mendorong terwujudnya enabling conditions atau kondisi pemungkin dalam mempercepat transisi energi berkeadilan yakni regulasi dan kelembagaan yang memadai.
“Tanpa adanya infrastruktur regulasi dan kebijakan yang kuat, transisi energi berkeadilan di Indonesia berpotensi terbentur masalah birokratis dan struktural.” Kata Syaharani.
Menurut Renewable Energy Portfolio Manager Trend Asia Beyrra Triasdian, transisi energi perlu fokus pada percepatan energi terbarukan.
Baca juga: Dokumen CIPP JETP Diundur, Begini Tanggapan IESR
Percepatan implementasi energi terbarukan tersebut dilakukan dengan prinsip penghormatan hak-hak dan persetujuan masyarakat lokal sekaligus menjamin keterjangkauan akses, penguatan ekonomi, dan energi berkelanjutan.
Energi terbarukan berbasis komunitas menjadi pilihan yang nyata. Akan tetapi, langkah itu masih terkendala dari kurangnya pengembangan kapasitas, kelembagaan, pendanaan dan ketidakselarasan kebijakan.
Kertas putih yang ditulis oleh organisasi masyarakat sipil tersebut memberikan beberapa rekomendasi untuk perencanaan dan implementasi JETP.
Rekomendasi itu berupa melakukan reformasi regulasi dan kebijakan bagi landasan transisi energi dan menetapkan target transisi energi yang mengikat secara hukum.
Rekomendasi lainnya adalah pengesahan undang-undang (UU) terbarukan, penguatan kelembagaan dan tata kelola JETP, pelibatan pemda dalam proses transisi energi, memobilisasi dana transisi energi, dan penguatan aspek monitoring dan evaluasi.
Baca juga: Dana Hibah Buat JETP Cair Cuma Rp 2,4 Triliun
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya