KOMPAS.com - Pemerintah telah meluncurkan layanan Angkutan Perkotaan dengan Skema Pembelian Layanan (Buy The Service) atau BTS sejak tahun 2020.
Skema tersebut untuk menjawab tingginya kebutuhan akan moda transportasi publik di perkotaan sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan.
"BTS merupakan wujud kehadiran pemerintah dalam memberikan subsidi pelayanan transportasi publik yang dilakukan bekerja sama dengan operator," dikutip dari laman Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Jumat (12/1/2024).
Baca juga: Bus Gratis Trans Koetaradja di Aceh, Jawaban Transportasi Perkotaan
Kehadiran BTS, menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, menjadi sebuah solusi layanan transportasi bagi masyarakat perkotaan.
"Di Indonesia sudah ada 11 kota, yang transportasinya menggunakan skema pembelian layanan atau buy the service (BTS)," kata Djoko saat dihubungi, Jumat (5/1/2024).
Layanan tersebut diterapkan sesuai UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berisi pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Skema BTS adalah mekanisme pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) membeli layanan angkutan massal ke operator (menyubsidi 100 persen biaya operasional kendaraan) dengan mekanisme lelang berdasarkan standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan.
Tujuan dari skema ini, untuk meningkatkan kualitas pelayanan angkutan massal karena operator tidak perlu bersikap ugal-ugalan untuk mengejar setoran guna menutupi biaya operasional. Sebab, biaya tersebut telah ditanggung oleh subsidi pemerintah.
Dengan demikian, harapannya semakin banyak masyarakat beralih dari kendaraan pribadi menuju transportasi umum. Sehingga, berbagai persoalan seperti polusi udara, kemacetan, dan lain-lain dapat teratasi.
Menurut Djoko, model seperti ini sudah meluas di luar negeri.
"Modal share angkutan umum banyak kota di dunia, seperti Singapura, Tokyo, Hongkong, Seoul, Beijing, sudah di atas 50 persen. Bahkan di Kuala Lumpur dan Bangkok kisaran 20 persen-50 persen," tuturnya.
Sementara itu, kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar kurang dari 20 persen. Belum lagi, banyak kota di Indonesia yang sudah tidak lagi memiliki layanan transportasi umum.
"Yang masih tersisa dengan armada bus yang bagus di Indonesia adalah transportasi umum antar kota antar provinsi," imbuh Djoko.
Sejak 2022, ada 11 kota yang sudah menerima bantuan penyelenggaraan transportasi umum perkotaan. Sebanyak 10 kota Program Teman Bus disubsidi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan 1 kota oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Ke-11 kota yang sudah mengikuti skema tersebut adalah Trans Koetaradja (APBD Aceh), Trans Padang (APBD Kota Padang), Trans Metro Pekanbaru (APBD Kota Pekanbaru), Tayo (APBD Kota Tangerang), Trans Semarang (APBD Kota Semarang), Trans Jateng (APBD Jateng), Trans Jogja (APBD DIY), Trans Jatim (APBD Jatim), Surabaya Bus (APBD Kota Surabaya), Trans Banjarmasin (APBD Kota Banjarmasin), dan Trans Banjarbakula (APBD Kalsel).
"Palembang pernah memberikan subsidi untuk Trans Musi, namun sejak tahun 2022 dihentikan," ujar Djoko.
Setelah sekitar tiga tahun beroperasi, Djoko mengatakan, Direktorat Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan transportasi BTS tersebut.
Pertama, jumlah penumpang Program Teman Bus di 10 kota dengan skema buy the service mengalami tren peningkatan. Ada modal shifting dari pengguna kendaraan pribadi, roda 2 atau 4, untuk berpindah menggunakan BTS.
"Sebanyak 62 persen penumpang beralih dari sepeda motor ke Bus BTS," ujarnya.
Kedua, kehadiran insfrastruktur utama dan pendukung. Infrastruktur pendukung BTS di daerah dikatakan Djoko masih belum memadai, seperti akses trotoar dan halte.
"Desain halte belum memberikan kemudahan untuk akses; dan rambu bus stop/penanda pemberhentian bus tidak terlihat/terpasang," kata dia.
Ketiga, layanan BTS. Rute yang dipilih dikatakan masih belum sesuai demand. Masih ada trayek BTS Teman Bus berhimpitan dengan trayek angkutan umum eksisting dan kon?ik dengan operator eksisting di beberapa kota/provinsi yang dilayani BTS.
Baca juga: Transportasi Umum di Sejumlah Kota Gratis, Bisakah Diterapkan di Seluruh Indonesia?
Sehingga, pada kondisi jam puncak (peak hour) sebagian besar rencana headway dan on time performance tidak terpenuhi akibat kemacetan lalu lintas, parkir di badan jalan.
Keempat, dukungan pemerintah daerah. Pelaksanaan upaya push and pull dalam mendukung layanan Teman Bus menurutnya belum optimal. Kebijakan push and pull di tingkat daerah masih harus ditingkatkan, karena masih sebatas sosialisasi penggunaan angkutan umum.
Kelima, kelembagaan operator dan pengelola transportasi publik. Beberapa kota/provinsi belum memiliki lembaga pengelola angkutan umum.
"Di beberapa daerah, operator eksisting sebagian besar masih berupa individu (pemilik dan pengemudi), sehingga sulit untuk membentuk konsorsium operator dan diajak bergabung dalam sistem," terang Djoko.
Keenam, transfer pengelolaan dan pengoperasian BTS dari pemerintah pusat ke pemda. Pemberian subsidi pembelian layanan/BTS ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi pengguna layanan.
Namun, belum ada kejelasan terkait keberlanjutan program, jangka waktu pendanaan oleh pemerintah daerah di masa depan. Belum ada komitmen anggaran dari Pemerintah Daerah maupun DPRD.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya