Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KLHK Klaim Tekan Karhutla 30,8 Persen, Walhi Nilai Sebaliknya: Gagal

Kompas.com, 12 Januari 2024, 19:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kendati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeklaim telah berhasil menekan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang Januari-Oktober 2023 sebesar 30,8 persen dibandingkan 2019, namun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) justru menilainya gagal.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi mengungkapkan keberhasilan ini terjadi bahkan ketika kondisi tahun 2023 disebut-sebut sebagai lebih kering dibanding tahun 2019.

Laksmi menyampaikan hal itu dalam Refleksi Kinerja Tahun 2023 yang dilaksanakan di Auditorium Dr. Soedjarwo, Gd. Manggala Wanabakti, Jakarta (28/12/2023).

KLHK mencatat luas karhutla sampai dengan Oktober 2023 sebesar 994.313,18 hektar. Pada 2023, terdapat 11 provinsi rawan karhutla khususnya Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang sejak awal tahun telah diupayakan pencegahan karhutla, karena sudah dideteksi musim kemarau panjang akibat pengaruh El Nino.

Baca juga: Belum Ada Capres Paparkan Pemulihan Korban Karhutla

Namun demikian Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menilai klaim penurunan karhutla tahun 2023 dibanding 2019 tidaklah penting. Karena faktanya, masih terjadi karhutla, dan masyarakat gagal terlindungi.

Menurut Uli, ada dua kegagalan dari pemerintah. Pertama, masih terjadinya karhutla karena KLHK tidak pernah melakukan tindakan evaluatif dan korektif terhadap kebijakan yang selama ini dijalankan.

Kedua, KLHK dalam menjalankan kebijakannya tidak pernah bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

"Kenapa harus kolaboratif karena beberapa titik karhutla juga terjadi di area yang merupakan kewenangan Kementerian ATR/BPN," jelas Uli kepada Kompas.com, Jumat (12/1/2024).

Pemerintah semestinya belajar dari karhutla 2015 untuk kemudian melakukan monitoring dan evaluasi (monev) guna diterapkan sebuah tindakan efektif pada tahun-tahun berikutnya.

Sementara yang terjadi, kata Uli, dalam kurun delapan tahun 2015-2023, karhutla masih sama, titik apinya sama di area-area operasional 194 perusahaan yang sama, dengan kualitas dampak yang sedikit berbeda.

"Ini artinya sepanjang delapan tahun tidak ada upaya pemerintah melakukan koreksi mendasar, seperti penciutan dan pencabutan perizinan dan lain sebagainya yang diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang area operasinya terbakar selama kurun delapan tahun itu," papar Uli.

Baca juga: Karhutla di Kalbar Terbesar se-Indonesia, Setara 215.920 Lapangan Sepak Bola

Apa yang dilakukan Pemerintah dalam konteks hukum dan kebijakan kehutanan dinilai Uli justru meliberalisasi kawasan hutan agar industri beroperasi di wilayah hutan dan hidrologis gambut.

"Undang-undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 110 A dan pasal 110 B mengampuni perusahaan yang secara ilegal beroperasi di kawasan hutan dan hidrologis gambut dan menjadi penyebab karhutla. Ini yang seharusnya dikoreksi. Selain itu, tak cukup hanya disegel, tapi dicabut izinnya," tegas Uli.

Kalau kemudian KLHK cukup hanya sampai penyegelan, dalam lima tahun ke depan karhutla pasti akan terus terjadi dengan dampak yang mungkin lebih fatal karena terkait perubahan iklim, pemanasan global, serta El Nino.

Menurut Uli, evaluasi dan koreksi ini akan menjadi basis tindakan oleh KLHK untuk menghasilkan kebijakan menyeluruh dan sudah seharusnya dilakukan pencabutan izin atau penciutan izin, dan penegakan hukum lainnya.

"Saat ini tidak ada penegakan hukum yang tegas. Kalau itu menjadi satu hal yang ditujukan untuk memberikan efek jera, itu harus dilakukan," tuntas Uli.

Walhi sendiri saat ini tengah menyusun daftar hitam atau black list perusahaan-perusahaan pemegang konsesi yang menyebabkan karhutla.

Penyusunan daftar hitam ini sangat penting agar perusahaan-perusahaan tahu dosa-dosa mereka, termasuk yang berulangkali menjadi penyebab karhutla, dalam operasionalnya mencemari lingkungan, berkonflik dengan masyarakat sekitar, agar tidak lagi mendapatkan kemudahan perpanjangan perizinan, mendapatkan izin baru, atau kemudahan akses pendanaan (pinjaman).

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Aceh Terancam Kekurangan Pangan hingga 3 Tahun ke Depan akibat Banjir
Aceh Terancam Kekurangan Pangan hingga 3 Tahun ke Depan akibat Banjir
Pemerintah
Ecoton Temukan Mikroplastik pada Air Hujan dari 4 Wilayah di Jawa Timur
Ecoton Temukan Mikroplastik pada Air Hujan dari 4 Wilayah di Jawa Timur
LSM/Figur
Universitas Brawijaya Kembangkan Biochar dan Kompos untuk Pengelolaan Limbah Pertanian Berbasis Desa
Universitas Brawijaya Kembangkan Biochar dan Kompos untuk Pengelolaan Limbah Pertanian Berbasis Desa
Pemerintah
Ekspansi Sawit hingga Masifnya Permukiman Gerus Hutan di DAS Sumatera Utara
Ekspansi Sawit hingga Masifnya Permukiman Gerus Hutan di DAS Sumatera Utara
Pemerintah
Guru Besar IPB Soroti Pembalakan liar di Balik Bencana Banjir Sumatera
Guru Besar IPB Soroti Pembalakan liar di Balik Bencana Banjir Sumatera
Pemerintah
Sumatera Darurat Biodiversitas, Habitat Gajah Diprediksi Menyusut 66 Persen
Sumatera Darurat Biodiversitas, Habitat Gajah Diprediksi Menyusut 66 Persen
Pemerintah
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
BUMN
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
LSM/Figur
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Pemerintah
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
LSM/Figur
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
LSM/Figur
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Swasta
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
LSM/Figur
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau