DEBAT kedua calon wakil presiden yang di dalamnya membahas mengenai Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, belum menjawab secara konkret beberapa problematika perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam dalam konteks hukum lingkungan.
Problem tersebut antara lain terkait penguatan regulasi Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang dapat mengatasi hambatan terwujudnya partisipasi masyarakat.
Lalu terkait akses hukum masyarakat (hukum acara) terhadap sengketa iklim dengan mendorong pembentukan Undang-Undang Keadilan Iklim.
Selain itu, industrilisasi batu bara yang bertolak belakang dengan gerakan transisi energi melalui substansi Revisi UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja.
Pertama, terkait hambatan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam penyusunan dan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup, pada dasarnya dapat diatasi melalui penguatan regulasi Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation).
Regulasi tersebut sedianya memberi perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan yang menyuarakan kepentingan lingkungan atas serangan melalui jalur hukum formal seperti gugatan perdata atau pelaporan pidana sebagai tindakan pembalasan dari tergugat/terlapor.
Dampak langkah hukum tergugat dapat membuat pembungkaman kebebasan berpendapat masyarakat.
Eksistensi Anti-SLAPP dalam konteks lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU 32/2009 bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."
Namun dalam tataran operasionalisasinya tidak dapat dijalankan karena sifat multitafsir pasal ini yang tidak diatur secara jelas dan komprehensif.
Masalah lain, minimnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai implementasi aturan ini karena kekosongan hukum acara.
Oleh sebab itu, diperlukan komitmen atau political will dari pemerintah untuk menyempurnakan regulasi Anti-SLAPP seperti dengan mengakomodasinya dalam revisi KUHAP atau peraturan hukum acara terkait.
Gagasan ini masih absen dalam debat cawapres tersebut. Padahal hal ini untuk menjamin hak prosedural masyarakat, yakni hak akses partisipasi dan informasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kerangka perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Bukan tidak mungkin, absennya gagasan ini berkorelasi dengan eksistensi UU Cipta Kerja sebagai produk hukum yang mengancam keberlanjutan lingkungan hidup demi investasi, yang didukung oleh sebagian besar partai pengusul kandidat.
Substansi sektor lingkungan hidup dalam produk hukum ini secara eksplisit membatasi partisipasi masyarakat yang bermakna. Misal, dengan menghapuskan ketentuan mengenai keikutsertaan pengamat atau aktivis lingkungan hidup dalam penyusunan Amdal dan dibatasi hanya masyarakat terdampak saja.
Kedua, perihal urgensi UU Keadilan Iklim untuk menjamin akses hukum bagi masyarakat (miskin, marjinal dan rentan) sebagai korban terdampak perubahan iklim.
Masih adanya kekosongan hukum acara terkait sengketa iklim seperti akses hukum untuk meminta pertanggungjawaban hukum atas tindakan atau kegiatan yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Salah satu contohnya, kasus litigasi perubahan iklim oleh masyarakat Pulau Pari di Pengadilan Swiss yang mengunggat Pabrik Semen Holcim untuk mengurangi emisi karbondioksida.
Kekosongan hukum nasional untuk mewadahi proses litigasi perubahan iklim di Indonesia membuat masyarakat Pulau Pari mencari keadilan jauh sampai ke negeri Swiss.
Problematika ini yang tidak dijawab oleh para kandidat pada acara debat tersebut, menunjukkan kurangnya komitmen dalam mendukung upaya kolektif masyarakat internasional untuk mewujudkan keadilan iklim (climate justice).
Ketiga, masih langgengnya industrilisasi batu bara di Indonesia disebabkan kebijakan hukum yang masih mendukung produksi bahan bakar fosil tersebut.
Contohnya pemberian iuran atau royalti 0 persen pada perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi sebagaimana diatur dalam UU Minerba Perubahan dan kembali ditegaskan dalam Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU 6/2023.
Ketentuan tersebut kontraproduktif dengan arah kebijakan transisi energi melalui energi baru terbarukan (EBT) sebagai gerakan masyarakat dunia untuk mencapai target net zero emissions sesuai dengan Perjanjian Paris.
Tidak adanya pembahasan mengenai produk hukum ‘tidak ramah lingkungan’ ini, mungkin disebabkan keberpihakan para kandidat capres/cawapres yang cenderung melindungi oligarki bisnis batu bara yang berada di belakang pencalonan mereka.
Dukungan modal finansial (cukong) mengorbankan gagasan transisi energi untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan manusia.
Kehadiran hukum lingkungan sebagai instrumen untuk mengelola dan melindungi lingkungan hidup guna menjamin keberlanjutan untuk generasi ke generasi merupakan aspek yang sangat krusial.
Garrett Hardin (1968) dalam literaturnya “Tragedy of the Commons” mengambarkan keadaan di mana populasi manusia yang terus bertambah serta keserakahan manusia dalam mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam yang sebenarnya memiliki keterbatasan, akan menghadirkan degradasi lingkungan. Ujungnya bencana umat manusia (tragedy of the commons).
Hardin memberikan solusi salah satunya harus ada kesepakatan bersama melalui kekuatan institutional seperti otoritas aturan negara untuk mengatasi keserakahan manusia terhadap sumber daya lingkungan yang terbatas.
Oleh sebab itu, absennya beberapa isu hukum lingkungan dalam debat cawapres melahirkan skeptisisme masyarakat dan pemerhati lingkungan terhadap komitmen perwujudan keadilan lingkungan oleh para calon top eksekutif republik.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya