Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/01/2024, 20:54 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Meningkatnya curah hujan pada setiap awal tahun selalu menjadi risiko bencana banjir, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia.

Menghadapi fenomena awal tahun ini, Health Collaborative Center (HCC) menemukan bahwa ternyata tingkat kesiap-siagaan warga terhadap bencana banjir masih belum optimal.

Survei disaster preparedness index dari HCC menunjukkan bahwa 48 persen warga Indonesia memiliki skor kesiagaan rendah, atau tidak siaga dalam menghadapi banjir.

Ketua Tim Peneliti HCC Ray Wagiu Basrowi menegaskan, survei kesiagaan bencana banjir ini dilakukan untuk melihat seberapa waspada orang Indenesia terutama di kota-kota yang secara rutin mengalami masalah banjir.

"Dan hasilnya memang hampir separuh warga yang diwakili responden memiliki skor yang tidak siaga," ujar Ray, Senin (22/1/2024).

Baca juga: Sempat Tenggelam, Kini Rotterdam Jadi Pengekspor Solusi Banjir

Artinya ketika bencana banjir kembali melanda, sebagian besar warga yang kesulitan mengakses bantuan, akan menghadapi tantangan untuk mengungsi atau menyelamatkan diri, keluarga dan juga harta benda, yang kemudian meningkatkan risiko mengalami kerugian.

Menurut Ray, temuan ini sepintas menunjukkan bahwa banjir adalah bencana yang sudah dianggap rutin sehingga urgensi untuk perlunya pencegahan darurat, latihan atau simulasi bencana hingga latihan pengungsian dianggap tidak menjadi prioritas.

Hal ini tentu menjadi indikator yang kurang baik terhadap mitigasi bencana, karena meskipun banjir sudah sering terjadi tetapi dampaknya bisa menjadi fatal.

"Sehingga intervensi tetap harus dilakukan agar perilaku kesiapsiagaan warga tetap baik dan waspada,” ungkap Ray yang juga merupakan pengajar di Program Kedokteran Kerja, FKUI.

Hasil lain terkait studi ini menunjukkan, ada dua penentu atau key drivers yang membuat tingkat kesiagaan banjir menjadi cenderung rendah.

Baca juga: Ancaman Banjir Rob dan Penurunan Muka Tanah

Yang pertama adalah respons tanggap darurat terhadap kemungkinan terjadinya bencana banjir tergolong rendah, kemudian diperparah dengan persepsi warga yang merasakan sistem peringatan bencana banjir juga tidak optimal.

Dua hal ini pun dianggap tidak prioritas karena sekali lagi warga merasa banjir sudah menjadi bencana rutin.

Survei ini kemudian melakukan pendalaman secara acak ke sejumlah responden, dan sebagian besar pendapatnya sejalan dengan temuan analisis survei.

Lolita, ibu dua anak yang berdomosili di Jakarta Selatan mengungkapkan dirinya pernah terdampak banjir saat masih berdomisili di daerah Jakarta Barat lima tahun silam.

Dan karena setiap tahun terdampak banjir dan harus selalu mengungsi akhirnya memutuskan untuk pindah wilayah.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau