PREDIKSI bahwa 2024 akan menjadi tahun yang lebih panas daripada 2023 telah disampaikan oleh Ahmad Arif dalam artikelnya dengan tajuk ”Tahun 2024 Bakal Lebih Panas” (Kompas, 10 Januari 2024).
Fenomena El Nino secara global yang disebabkan pemanasan permukaan laut di Pasifik tengah dan timur, menjadi satu penyebab kuat.
Akan lebih parah, apabila El Nino berpadu dengan pemanasan global (global warming). Suhu di permukaan bumi sudah dapat diprediksi akan melebihi ambang batas pemanasan, yaitu 1,5 derajat Celcius. Betapa ekstremnya pemanasan yang akan kita hadapi.
Prediksi ini dan imajinasi terhadapnya, tentu sangat menggentarkan kita di bulan awal, tahun 2024. Sedangkan untuk mengatasi cuaca ekstrem di 2023 saja kita masih kewalahan, apalagi nanti 2024 ini.
Maka, kita, mau tak mau, mesti siap untuk meredakan pendidihan global yang sudah ada di depan mata. Bumi sedang mengalami situasi yang sulit, yaitu ”demam” yang tak terkendali dan belum terobati dengan optimal.
Bumi sedang menunjukkan ”tanda-tanda zaman” dan kita diharapkan peka dan cerdas membaca tanda tersebut.
Kepekaan memuat unsur simpati dan empati. Kedua unsur ini terarah pada penghormatan yang sakral terhadap bumi dengan segala proses naturalnya.
Kiranya, untuk mengawali proses penghormatan terhadap bumi, kita membutuhkan daya spiritual yang konsisten dan mendasar.
Spiritualitas menghormati, lahir dan berkembang dari usaha untuk menyucikan batin menuju suatu keintiman baru dengan bumi (new intimacy with the universe). Penyucian batin dapat diekspresikan dengan ragam simbol.
Salah satu contoh adalah tortor pangurason (tarian penyucian) orang Batak Toba yang masih dilestarikan di Desa Sarimarrihit, Samosir, Sumatera Utara. Tarian ini memuat nilai dan makna hidup yang sakral antara manusia dengan Sang Pencipta, bumi, dan penghuni sekitar.
Tarian ini berdasar pada mitologi Raja Batak yang bermimpi akan datangnya mara bahaya atau bencana yang menggentarkan manusia.
Sebagai langkah antisipatif, Raja atas nasihat para tetua dan ahli spiritual melakukan ritual penyucian diri, wilayah, penduduk, dan bumi.
Atas upaya antisipatif tersebut, masyarakat terhindar dari mara bahaya. Ancaman terhadap kehidupan, panen, dan kesengsaraan dapat dihindari. Sehingga, masyarakat menikmati kehidupan yang sejahtera dan damai.
Hingga kini, pangurason tetap diwariskan kepada para remaja dengan nilai edukasi untuk menjaga dan melestarikan bumi.
Selain dalam ritual sakral, kaum muda dididik untuk tetap bertindak hormat pada bumi. Agar bencana yang mengerikan tidak melanda manusia dan bumi menjaga kelangsungan peradaban manusia.
Dengan melihat perkembangan situasi manusia dan efeknya pada bumi saat ini, rasanya kita sudah harus menyucikan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak menghormati bumi.
Thomas Berry dalam Evening Thoughts (2006) telah lama mengingatkan kita untuk menghentikan proses perusakan bumi yang dapat memicu episode mengerikan dalam siklus keberadaannya.
Berry menekankan perlunya transformasi diri yang konsisten dalam penyucian diri dan rasa hormat pada bumi.
Kita menyadari, seruan spiritual untuk menghormati bumi kurang menarik. Kita kerap menempatkan urusan perawatan dan pelestarian bumi dalam kategori tambahan; sebatas teori akademis dan ilmiah belaka, tanpa aplikasi nyata.
Hal ini membuat peranan baik individu maupun kelompok masyarakat untuk menghormati bumi, menjadi semakin turun atau rendah.
Menurut IPCC dalam Climate Change 2023, The Psychology of Climate Anxiety 2021, dan Climate Anxiety Wellbeing and Pro-Environmental Action 2022, ada empat alasan utama penurunan peranan.
Pertama, hipotesis peringatan yang salah (faulty alarm hypothesis). Manusia mengembangkan kecapakan dalam merespons ancaman-ancaman secara langsung dan cepat, namun kecakapan tersebut sulit diaplikasikan.
Kedua, hubungan antara manusia dengan bumi (ecopsychology) putus. Akibatnya, manusia kurang memedulikan bumi. Ketiga, dilema sosial (social dilemma). Konflik kepentingan menjadi penghalang.
Keempat, penolakan dan apatisme (psychoanalysis). Masih banyak orang yang tidak mau hormat pada bumi dan tidak peduli pada efek yang (akan) muncul. Ada kecemasan akan bencana di depan mata, tetapi sifatnya dangkal dan sementara.
Kita berharap agar gairah untuk peka dan cermat dalam membaca ”tanda-tanda zaman” saat ini, semakin kuat. Lebih dari itu, kita berharap, agar pembahasan dan aksi nyata untuk menghormati bumi menjadi semakin menarik.
Semoga pangurason dan penghormatan terhadap bumi semakin digelorakan. Sehingga, kita berada dalam satu minat dan cita-cita bersama, yaitu membuat bumi menjadi lebih baik dengan spiritualitas yang konsisten dan mendalam (rooted).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya