Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Riche Rahma Dewita
Manager Program

Riche Rahma Dewita, Manager Program Pengelolaan Pengetahuan, Sumber Daya manusia, Monitoring dan Evaluasi – Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI WARSI)

Dapatkah Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Dirasakan Masyarakat Adat?

Kompas.com - 21/02/2024, 16:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini berbagai inisiatif dicetuskan untuk mengurangi emisi karbon. Salah satunya melalui inisiatif pendekatan ekonomi seperti Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang ditetapkan melalui Perpres No. 98 Tahun 2021.

Konsep ini digunakan untuk memberikan harga dari emisi karbon yang dihasilkan kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi sehingga muncul insentif yang bisa diterima pihak yang berkontribusi untuk menurunkan emisi.

Upaya penurunan emisi karbon semakin mendesak karena adanya komitmen Indonesia mengendalikan dampak perubahan iklim global dengan target penurunan emisi sebesar 31,89 persen usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Hingga kini, NEK lebih banyak beredar pada skema yang diatur dalam regulasi Peraturan OJK (POJK) No. 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang berkonsentrasi pada sektor energi.

Skema ini memperhitungkan emisi ke dalam kredit karbon. Masyarakat belum memiliki kapasitas untuk masuk pasar karbon. Pasar karbon masih didominasi oleh korporasi. Di sisi lain, peran masyarakat sangat krusial untuk menekan emisi.

Lalu, timbul pertanyaan tentang siapa yang berhak menerima manfaat NEK? Dapatkah NEK membawa manfaat langsung kepada publik, terutama masyarakat adat?

Peran masyarakat adat di sektor kehutanan

Hutan dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya berperan penting dalam pengendalian emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.

Lantas, bagaimana cara masyarakat terlibat dalam implementasi NEK?

Inisiatif carbon non-market patut dipertimbangkan sebagai alternatif untuk ikut serta dalam NEK. Gerakan ini memberikan dukungan dana dan kebijakan sebagai insentif kepada masyarakat pengelola hutan sosial, sebagai penghargaan untuk perlindungan hutan melalui patroli dan pengamanan.

Upaya serupa yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal di kawasan hutan terbukti mampu dalam berkontribusi pada pengurangan emisi.

Contoh nyatanya adalah masyarakat desa yang tinggal di Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujangraba), salah satu katalisator gagasan non-market.

Daerah ini merupakan lanskap penting di Kabupaten Bungo – Provinsi Jambi yang terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat, hutan produksi, hutan tanaman industri dan lima hutan desa dari skema perhutanan sosial di Bujangraba.

Lima desa di Bujangraba (Lubuk Beringin, Senamat Ulu, Laman Panjang, Kampung Sangi-Letung, dan Sungai Telang) telah berhasil memperoleh izin kelola hutan desa seluas 7.291 ha dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Izin ini dimanfaatkan dengan efektif oleh masyarakat untuk mengelola hutan sesuai nilai lokal, memperkuat hak kepemilikan lahan turun temurun, dan perluasan zona lindung.

Masyarakat adat mengelola hutan untuk pengayaan tanaman, peningkatan produksi dan kapasitas, melindungi sumber air, mencegah perluasan lahan, dan penebangan liar. Upaya ini membuat hutan mampu menyerap emisi karbon yang selanjutnya dikalkulasikan dalam NEK.

Manfaat imbal jasa lingkungan bagi masyarakat

Warsi mendukung praktik baik tersebut melalui program Community Payment for Ecosystem Service (PES) sejak 2013 dengan tujuan mendampingi masyarakat dalam menjaga hutan dan mengurangi emisi zona lindung di 5 hutan desa Bujangraba seluas 5.335ha.

Program memperoleh hasil cukup baik dengan tidak adanya deforestasi sepanjang tahun 2013-2019. Di periode tersebut, masyarakat berhasil mengurangi sebanyak 180.000 ton CO2eq.

Warsi melihat peluang masuk ke skema NEK berupa imbal jasa lingkungan atau community carbon. Sejak tahun 2013-2023, pengurangan emisi karbon rata-rata mencapai 37.377 ton karbon/tahun.

Pada tahun 2020, jumlah tersebut berhasil dikonversikan menjadi sekitar Rp 1 miliar/tahun untuk lima desa. Dana tersebut bermanfaat bagi warga untuk kepentingan desa seperti sunatan massal.

Komitmen masyarakat juga mendapatkan dukungan dari kalangan filantropi sejak tahun 2018. Pada 2020 sampai 2022, sebanyak 5 desa mendapatkan dukungan sekitar Rp 1 miliar untuk berbagai aktivitas; persediaan sembako semasa pandemi COVID-19, beasiswa, pembangunan sarana patroli, pengembangan komoditi, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan hutan.

Di Bujangraba, masyarakat adat dilibatkan dalam pembahasan stok karbon dan desain proyek untuk melindungi hutan. Melalui pengalaman ini, konsep carbon non-market bisa diadopsi di daerah lain.

Kontribusi masyarakat dalam menurunkan emisi dapat diukur dan dipertanggungjawabkan dalam satuan karbon kepada publik dan sistem pendanaan lingkungan. Mereka juga menerima manfaat ekonomi NEK dalam bentuk imbal jasa lingkungan.

Ke depannya, praktik seperti ini perlu mendapatkan dukungan lebih dari pemerintah dan swasta agar masyarakat adat semakin berdaya. Masyarakat adat adalah pihak yang paling berjasa dalam mencegah deforestasi dan menekan emisi karbon.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau