BERDASARKAN definisi yang ditetapkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Net Zero Emission (NZE) adalah suatu kondisi seimbang di mana jumlah emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan ke atmosfer berjumlah sama dengan emisi yang diserap dari atmosfer.
Kondisi ini diupayakan untuk memitigasi efek gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan temperatur global yang dapat mengakibatkan berbagai bencana.
Sasaran atau ‘target’ Net Zero Emission dicanangkan oleh pemerintah Indonesia dalam COP (Conference of Parties) 26 di Glasgow tahun 2021, untuk bisa dicapai pada tahun 2060 atau lebih awal lagi (seperti dilansir dalam laman BRIN – Badan Riset dan Inovasi Nasional).
Target ini kemudian diadopsi oleh berbagai pihak sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab untuk memitigasi perubahan iklim.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan strategi-strategi untuk mencapai target ini, di antaranya dengan melakukan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) bersama dengan Dewan Energi Nasional (DEN) agar langkah yang diambil tidak mengganggu pembangunan serta peta jalan menuju transisi energi terbarukan.
Di dunia industri migas, komitmen ini kemudian diperkuat sebagai tema utama dalam konferensi IPA (Indonesian Petroleum Association) pada Mei 2024, yaitu “Gaining Momentum to Advance Sustainable Energy Security in Indonesia and the Region”.
Pertamina di dalam laman-nya mencantumkan berbagai upaya dalam mencapai target Net Zero Emission melalui dua pilar utama (dekarbonisasi kegiatan usaha dan pengembangan bisnis hijau baru) dan tiga enabler, yaitu: pengembangan standar penghitungan karbon, organisasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan, dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Negara-negara lain juga melakukan berbagai hal serupa. European Union pada press release yang diterbitkan Februari 2024, merekomendasikan penurunan gas rumah kaca net paling sedikit sebesar 90 persen pada 2040 dibandingkan dengan baseline tahun 1990.
Upaya yang dilakukan sudah menunjukkan hasil di mana terdapat penurunan emisi. Seperti yang dikutip dari laman Kementerian ESDM, pada tahun 2017, realisasi penurunan emisi GRK mencapai 29 juta ton.
Kemudian tahun 2018 sebesar 40 juta ton, tahun 2019 penurunan mencapai 54,8 juta ton, tahun 2020 sebesar 64,4 juta ton, tahun 2021 sebesar 70 juta ton, tahun 2022 mencapai 91,5 juta ton, dan pada 2023 mencapai 127,67 juta ton. Ini adalah pencapaian luar biasa oleh Indonesia.
Namun demikian, mengapa berdasarkan Assessment Report 6 tahun 2023 yang diterbitkan oleh IPCC, tren dan estimasi emisi gas rumah kaca saat ini dan yang akan datang masih akan menyebabkan peningkatan temperatur global 3,2 C (kisaran 2,2 – 3,5 C).
Bahkan berdasarkan laporan ini terdapat kenaikan signifikan pada 2010 – 2019 dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya dengan pertumbuhan kira-kira 1,3 persen per tahun.
Diperkirakan 79 persen emisi dihasilkan dari sektor industri, energi, transportasi dan bangunan. Sementara 21 persen berasal dari sektor perhatian, kehutanan, dan penggunaan lahan.
Di balik publikasi positif dari hampir seluruh industri di dunia bahwa mereka berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca, tetap terlihat kenaikan temperatur global yang menuju kondisi berbahaya kelak di tahun 2100.
Apakah Net Zero Emission yang ‘ditargetkan’ akan tercapai?
Sekarang kita lihat aspek lain dari upaya penurunan emisi global ini, yaitu upaya ekonomi dalam bentuk carbon trading.
Carbon trading atau emission trading di-definisikan sebagai aktifitas jual beli ‘emisi’ di mana suatu pihak dapat ‘membeli pengurang’ (carbon credit) dari kelebihan emisi yang dihasilkannya dari pihak lain yang sudah berhasil menurunkan emisi.
Dengan kata lain, pihak pertama bisa meng-klaim penurunan emisi dengan melalui mekanisme jual-beli.
PBB juga memiliki UN Carbon Offset Platform yang memungkinkan suatu perusahaan, organisasi dan masyarakat dapat membeli carbon credit.
Mekanisme ini sudah cukup lama ditetapkan dan memiliki market place tersendiri. Harga yang diperjual belikan berkisar antara 75 – 80 Euro per ton berdasarkan data yang dilansir dari badan pemantau harga karbon Eropa ‘Ember’.
Berdasarkan data yang dikutip dari Reuters, nilai transaksi carbon credit di Eropa mencapai 948 miliar euro tahun 2023, melampaui rekor sebelumnya 881 miliar euro dengan kenaikan 2 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kenaikan harga ini mengindikasikan permintaan pasar yang tinggi atau dengan kata lain, semakin banyak pihak yang memilih untuk ‘membeli’ pengurangan emisi dari kelebihan yang dihasilkannya.
Secara intuitif, seseorang bisa memilih untuk melakukan ini secara terus menerus sehingga kelebihan emisinya bisa selalu ‘nol’ selagi ia memiliki dana untuk melakukan pembelian.
Sementara dana untuk 'membeli' mungkin didapatkan dari aktifitas produksi berlebihan. Jika ini dilakukan, maka pengurangan emisi yang diharapkan akan sulit untuk bisa dicapai.
Apakah mekanisme carbon trading adalah sesuatu yang buruk? Tidak juga. Mekanisme ini adalah win-win solution yang didesain oleh regulator dan pihak industri/negara yang secara aktif juga harus melakukan pembangunan dan memutar roda perekonomian.
Namun demikian, diharapkan mekanisme ini tidak disalahgunakan sebagai escape strategy dari pihak-pihak yang ingin me-nol kan emisinya dengan cara membeli.
Hal ini sebetulnya bisa dilakukan dengan tidak menetapkan Net Zero Emission sebagai ’target’ yang harus dicapai dan dapat menyalah-arahkan (misleading) industri untuk terlalu mengandalkan mekanisme carbon trading dalam mencapai ‘target’ tersebut.
Net Zero Emission sebaiknya memiliki arti yang lebih mulia (profound) dan dipandang sebagai ‘journey’ atau perjalanan yang terus menerus dilakukan dan ditempuh menuju tercapainya masa depan yang layak menjadi tempat hidup umat manusia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya