PULAU PARI, KOMPAS.com - Warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu, Jakarta, merupakan salah satu dari masyarakat pulau kecil di pesisir yang menghadapi ancaman.
Ancaman tersebut datang dari krisis iklim yang menyebabkan abrasi dan berbagai bencana lain seperti banjir rob, hingga acaman dari perusahaan-perusahaan yang ingin mengambil alih kawasan.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, perjuangan warga Pulau Pari melawan krisis iklim dan perusahaan selama 10 tahun terakhir telah menginspirasi banyak pihak.
"Pulau Pari ini bagi Walhi adalah potret perjuangan masyarakat pesisir, masyarakat pulau kecil Indonesia, dan Indonesia ini adalah negara kepulauan. Masyarakat Pulau Pari menghadapi dua ancaman besar, dan mereka berkomitmen menghadapi ancaman itu," ujar Zenzi saat ditemui di Pantai Rengge, Pulau Pari, Senin (8/7/2024).
Baca juga: Lawan Abrasi, Dompet Dhuafa-Walhi Tanam 1.000 Mangrove di Pulau Pari
Sejak lama, Pulau Pari telah terdampak oleh krisis iklim. Pulau ini semakin sering dihantam banjir rob, kenaikan air laut, cuaca ekstrem, serta gelombang tinggi.
Menurut catatan Walhi, luasan Pulau Pari telah hilang sebesar 11 persen. Dari luas sebesar 42 hektar, kini hanya tinggal 41,4 hektar yang tersisa.
Krisis iklim di Pulau Pari juga mengakibatkan hilangnya hasil tangkapan ikan secara drastis. Nelayan telah kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen jika dibandingkan dengan sebelum terdampak krisis iklim.
"Dampak dari perubahan iklim, di mana setiap tahun, Pulau Pari berkurang luasnya karena proses abrasi dan mereka mempertahankan pulau ini dengan tidak henti-hentinya menanam mangrove," imbuhnya.
Ancaman lain yang masih dirasakan hingga saat ini, Zenzi mengungkapkan, adalah rencana dari perusahaan swasta untuk merampas pulau mereka.
Mulai dari somasi kepada warga, larangan warga mendirikan/merenovasi rumah, memaksa warga menandatangani surat pernyataan, hingga menyurati warga untuk bekerja sama.
"Mereka sudah berjuang hampir 10 tahun, dan sampai saat ini mereka masih bertahan agar tempat tali pusar mereka dikubur di Pulau Pari ini tetap menjadi milik mereka," tegas Zenzi.
Kendati telah berjuang dan melawan, selama ini belum ada perhatian lebih dari pemerintah untuk menyelesaikan intimidasi tersebut.
Padahal, menurutnya, warga Pulau Pari telah memberikan contoh yang baik dan berhasil dalam membangun perekonomian secara mandiri. Seharusnya, hal ini patut mendapatkan apresiasi dan perhatian dari pihak pemerintah.
Baca juga: Warga Pulau Pari Kerap Diintimidasi, Dompet Dhuafa-Walhi Gelar Advokasi
"Pulau Pari masyarakatnya sekarang sudah mulai sejahtera dengan mereka membangun pariwisata yang dikelola oleh masyarakat," ujar Zenzi.
"Seharusnya Menteri Pariwisata, Menteri Investasi, Menteri KKP, termasuk Presiden sendiri datang ke Pulau Pari ini, terutama juga Menteri ATR/BPN. Supaya mereka tahu bahwasanya ketika tanah, pantai, sumber daya, itu diserahkan kepada rakyat, rakyat itu bisa membangun kesejahteraan," papar Zenzi.
Hal itu disampaikan Zenzi bertepatan dengan penandatanganan kerjasama perlindungan dan pemulihan pesisir antara Walhi dengan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa di Pulau Pari, Senin (8/7/2024).
Sementara, Deputi Direktur 1 Program Sosial Budaya Dompet Dhuafa Juperta Panji Utama mengatakan, Pari Pulau dekat dengan pusat mantan ibukota negara Indonesia, Jakarta, pusat segala kekuasaan dan kebijakan negara ini.
“Jika kebijakan yang dekat dengan pusat kebijakan saja tidak berpihak pada kepentingan masyarakat, bisa dibayangkan mungkin ada hal-hal serupa di tempat yang lebih jauh lagi,” ujar Panji.
Warga Pesisir mampu berdaya
Untuk menguatkan posisi masyarakat, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan membuat aplikasi khusus pariwisata Pulau Pari.
"Kenapa ini penting kita lakukan? Untuk mengingatkan pemerintah, banyak pemerintah membangun pariwisata-pariwisata premium, tapi masyarakatnya terpinggirkan, yang kaya itu adalah investor," ujar Panji.
Zenzi menjelaskan, Pulau Pari telah berhasil mengembangkan wisata tiga pantai yaitu Pantai Perawan, Pantai Bintang, dan Pantai Rengge, tanpa intervensi pemerintah daerah.
Bahkan, infrastruktur seperti jalanan di pulau tersebut dibangun masyarakat secara swadaya dengan hasil penyisihan keuntungan pariwisata.
Baca juga: Penelitian Baru, Ada Pola Pergerakan Pari Manta Karang di Raja Ampat
"Sebenarnya semua destinasi wisata Indonesia itu bisa kita bangunkan tata kelola ekonominya, di mana pemegang sahamnya itu adalah rakyat. Kami mau memulainya di Pulau Pari karena masyarakat Pulau Pari sudah berhasil," tambah Zenzi.
Lebih lanjut, penting untuk pemerintah memberikan perhatian, salah satunya dalam hal pemenuhan hak dasar seperti pemberian sertifikat tanah dan sertifikat rumah di Pulau Pari. Dengan kepastian, masyarakat diharapkan bisa semakin berdaya.
"Mereka menginginkan rasa aman dalam usahanya, dan kalau masyarakat di sini diberikan rasa aman dalam usahanya, saya melihat potensi ekonominya akan sangat besar. Akan ada peluang banyak pihak untuk terlibat berkontribusi dalam bisnis masyarakat di sini," papar Zenzi.
Senada, Panji mengatakan pihaknya berharap dapat bekerja sama dengan lebih banyak pihak lain, serta tentunya pemerintah dan masyarakat yang terdampak krisis iklim.
“Semua pihak harus terlibat, semua pihak harus menyatu dan melihat bahwa ini adalah musuh bersama kita,” pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya