KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menetapkan moratorium sawit untuk menjaga daya tampung lingkungan.
Desakan tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertajuk "Urgensi Perbaikan Tata Kelola Sawit melalui Kebijakan Penghentian Pemberian Izin dalam Perspektif Ekonomi dan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH)", Rabu (3/11/2024).
Peneliti Lokahita Jesika Taradini mengatakan, perkebunan sawit di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua telah melewati ambang batas.
Baca juga: Limbah Sawit Lebih Ramah Lingkungan Jadi Bahan Baku Bioetanol
"Maka alih-alih memberi pintu terhadap pembukaan sawit baru, seluruh pihak harus mengupayakan pemulihan kondisi lingkungan di tiga pulau tersebut," jelas Jesika, dikutip dari siaran pers.
Secara nasional, lanjutnya, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap sawit sudah
terpenuhi dengan luas sawit yang ada sekarang.
Penambahan kebun baru hanya akan memberikan keuntungan pada pelaku usaha besar dan minim dampak pada masyarakat serta pemasukan negara.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat, kebijakan moratorium sawit akan membawa dampak ekonomi positif yang signifikan, terutama bila digabungkan dengan program replanting alias peremajaan tanaman.
Baca juga: Petani Sawit Perlu Diperhatikan dalam Komersialisasi Biodiesel
Dia menyampaikan, dampak implementasi kebijakan moratorium sawit dan replanting mampu output ekonomi Rp 28,9 triliun, tambahan produk domestik bruto (PDB) Rp28,2 triliun, pendapatan masyarakat Rp 28 triliun, surplus usaha Rp16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp 165 miliar, ekspor Rp 782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp 13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761.000 orang.
"Angka ini sangat signifikan dibandingkan tanpa moratorium yang cenderung negatif di semua aspek. Sehingga urgensi penerapan kebijakan moratorium sawit sesuai dengan manfaat ekonominya," jelas Nailul Huda.
Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien berujar, urgensi moratorium sawit semakin relevan untuk menjawab regulasi anti deforestasi Uni Eropa atau EUDR.
Dia menuturkan, moratorium sawit merupakan kebijakan progresif pemerintah untuk menjawab ketentuan EUDR.
Baca juga: GAPKI Sebut Ekspor Sawit Indonesia ke Eropa Sudah Penuhi Syarat Berkelanjutan
"Karena selain merupakan komitmen mengurangi angka deforestasi global, juga moratorium ini dapat mendorong produksi sawit yang bebas dari unsur ilegalitas," jelas Andi.
Dia menambahkan, langkah tersebut juga juga membantu pencatatan due diligence mengingat moratorium memandatkan evaluasi perizinan.
Peneliti Madani Berkelanjutan Sadam Afian Richwanudin berujar, moratorium akan mendukung target iklim Indonesia.
Dia menyampaikan, penghentian izin dan bukaan lahan baru akan mendukung komitmen iklim Indonesia, sebab sektor kehutanan, alih fungsi lahan, dan energi masih menjadi tulang punggung target iklim.
"Bukaan (lahan) baru akan memperbesar angka karbon terlepas. Dengan menghentikan izin dan bukaan baru, akan memperbesar kontribusi kehutanan dan alih fungsi lahan dalam mencapai target iklim," ucap Sadam.
Baca juga: Jurus Prabowo Swasembada Energi: Manfaatkan Sawit hingga Singkong
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya