KOMPAS.com - Potensi minyak jelantah yang bisa dikumpulkan di Indonesia sangat besar, hampir 1 juta kilo liter per tahun atau lebih tepatnya 933.200 kilo liter per tahun.
Temuan tersebut mengemuka berdasarkan studi yang dilakukan lembaga think tank Traction Energy Asia.
Besarnya potensi minyak jelantah tersebut bisa dijadikan bahan baku bahan bakar nabati atau biofuel yang mendorong ekonomi sirkular.
Baca juga: Pemerintah Susun Peta Jalan untuk Hilirisasi Minyak Jelantah
Dari potensi tersebut, 714.296,6 kilo liter berasal dari industri pengolahan makanan. Sedangkan sisanya, 218.871,7 berasal dari hotel, restoran, dan kafe (horeka).
Manajer Program Traction Energy Asia Refina Muthia Sundari mengatakan, besarnya potensi tersebut perlu dimanfaatkan dengan menguatkan pengumpulannya.
Metode pengumpulannya bisa dilakukan melalui dinas lingkungan hidup daerah setempat, pengepul atau swasta, lembaga non-profit, hingga karang taruna.
Dia menuturkan, Traction Energy Asia menyarankan potensi minyak jelantah yang dihasilkan oleh horeka dan pengolahan makanan dapat memanfaatkan skema yang ada saat ini.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tetapkan Regulasi Minyak Jelantah, Sebelum Kegagalan Pasar
"Hanya saja, (model pengumpulannya) dapat diatur oleh dinas lingkungan hidup setempat, dan kemudian diserahkan kepada jaringan pengepul, lalu kami asumsikan itu akan diserahkan kepada Kilang Pertamina untuk diproduksi menjadi biofuel," terang Refina, dikutip dari siaran pers, Rabu (6/11/2024).
Di sisi lain, Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Lila Harsyah Bakhtiar menuturkan, masih ada asimetris informasi dari kegiatan usaha pengumpulan minyak jelantah.
Dari temuan yang ada, perbedaan harga minyak jelantah antar daerah terbilang tinggi, antara Rp 3.000 hingga Rp 9.000.
Baca juga: Paramount dan noovoleum Olah Minyak Jelantah Jadi Energi Terbarukan
Di sisi lain, mengecilkan kesenjangan harga memerlukan perlu upaya yang sangat besar.
Sehingga perlu ada pengaturan tata niaga mulai dari level masyarakat agar harga dapat lebih terkendali, contohnya dengan menjaga harga pada level yang remuneratif melalui harga eceran tertinggi (HET).
Sehingga hal tersebut tetap memberi keuntungan, baik bagi produsen maupun pengguna minyak jelantah untuk bahan baku biofuel.
"Kalau kita memberikan predikat minyak jelantah ini sebagai sumber daya industri, maka kita bisa menjalankan kebijakan untuk menyeimbangkan harga tadi dengan pembentukan HET," jelas Lila.
Baca juga: BRIN: Olah Minyak Jelantah Jadi Bahan Bakar Pesawat Tergantung Harga Avtur
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya