Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hanya 13 Persen Perusahaan di Asia Pasifik yang Adopsi Kerangka Kerja TNFD

Kompas.com - 15/01/2025, 14:17 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Studi yang dilakukan oleh perusahaan pemegang berbagai brand mewah asal Perancis, Kering, dan Centre for Governance and Sustainability (CGS) di bawah National University of Singapore (NUS) menemukan hanya 13 persen dari 700 perusahaan besar di Asia Pasifik yang mengungkapkan keselarasan dengan Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD).

TNFD adalah kerangka kerja global bagi perusahaan untuk menilai dampak dan ketergantungan mereka terhadap alam, seperti penggundulan hutan dan polusi air.

Melansir IBM, misi TNFD untuk memberikan insight berbasis sains tentang berbagai isu terkait alam melalui pelaporan perusahaan.

Harapannya adalah bahwa dengan informasi yang lebih dapat ditindaklanjuti, organisasi dapat mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam strategi bisnis, pengambilan keputusan, dan pelaporan mereka.

Baca juga:

Dalam laporan ini, Kering dan CGS menganalisis laporan tahunan dan keberlanjutan dari 50 perusahaan teratas berdasarkan kapitalisasi pasar di masing-masing dari 14 pasar Asia Pasifik yang dipilih.

Itu termasuk Australia, China daratan, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan juga Indonesia.

Dikutip dari Business Times, Rabu (15/1/2025) perusahaan-perusahaan Australia memiliki tingkat adopsi kerangka kerja TNFD tertinggi (42 persen) Dan diikuti Jepang (32 persen) Taiwan (24 persen), Singapura (14 persen).

Di sisi lain, tidak ada perusahaan dari China daratan dan Vietnam yang mengadopsi kerangka kerja tersebut. Sementara itu di Indonesia hanya 2 persen perusahaan yang mengadopsi kerangka kerja TNFD.

Hal yang Baru

Studi ini mencatat pengungkapan yang terkait dengan alam memang merupakan hal yang lebih baru di Asia Pasifik daripada pengungkapan yang terkait dengan iklim.

Dari 375 perusahaan yang memiliki matriks materialitas hanya 31 persen yang memprioritaskan isu-isu yang terkait dengan alam sebagai prioritas menengah hingga tinggi.

Matriks materialitas merupakan sebuah alat yang mengidentifikasi isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola yang signifikan.

Sebaliknya, 82 persen menganggap isu-isu iklim sebagai prioritas menengah hingga tinggi. Adopsi komitmen yang terkait dengan alam juga rendah.

Baca juga:

Hanya 34 persen perusahaan yang membuat komitmen seperti tidak ada penggundulan hutan, tidak ada eksploitasi pekerja, masyarakat lokal, atau petani skala kecil serta penggunaan bahan baku bersertifikat.

Laporan ini pun meminta perusahaan untuk mempercepat adopsi kerangka kerja TNFD, serta melakukan analisis yang lebih mendalam untuk mengungkap potensi dampak dan risiko keuangan dari masalah terkait alam.

Laporan juga mendesak perusahaan untuk menyalurkan lebih banyak modal peluang terkait alam, terutama melalui pembiayaan hijau dan investasi dalam inisiatif alam.

“Dengan menyelaraskan dengan kerangka kerja pelaporan alam global, perusahaan dapat meningkatkan manajemen risiko mereka, mendorong perubahan yang berarti, dan berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan,” kata direktur CGS Lawrence Loh.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau