KOMPAS.com - Perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik sebagian besar telah memahami dasar-dasar pelaporan iklim dengan benar.
Namun menurut laporan dari penyedia data keuangan LSEG, masih banyak pula dari perusahaan-perusahaan tersebut yang masih belum mengungkapkan metrik lanjutan yang diwajibkan berdasarkan standar pelaporan yang dikembangkan oleh Dewan Standar Keberlanjutan Internasional (ISSB).
Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka belum siap untuk penerapan skala penuh pelaporan iklim yang selaras dengan ISSB yang akan mulai berlaku secara bertahap mulai tahun 2025 di beberapa wilayah hukum di Asia Pasifik.
Dikutip dari Business Times, Rabu (11/12/2024) laporan ini memetakan persyaratan pelaporan ISSB terhadap indikator terkait iklim dari kumpulan data lingkungan, sosial, dan tata kelola LSEG, kemudian menyaringnya menjadi 31 indikator inti sebelum menggunakannya untuk menganalisis pengungkapan keberlanjutan tahun 2022 lebih dari lebih 7000 perusahaan di Asia Pasifik.
Laporan menemukan kurangnya pengungkapan metrik lanjutan di antara perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut terutama berkisar pada metrik strategis dan keuangan.
Baca juga: Komisi Eropa Terbitkan Dokumen untuk Sederhanakan Pelaporan Keberlanjutan
Misalnya, laporan tersebut menemukan bahwa 10 persen perusahaan mengungkapkan rencana transisi tetapi hanya 2 persen yang mengumumkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menetapkan rencana tersebut.
Selain itu hanya 1 persen memberikan perincian terperinci tentang bagaimana langkah-langkah tersebut dapat membantu mereka mencapai target pengurangan emisi.
Ada juga kurangnya ambisi dalam beberapa tujuan iklim, dengan hanya 1 persen perusahaan di kawasan tersebut yang memiliki rencana transisi untuk mengatasi emisi Cakupan 3, yang merujuk pada emisi tidak langsung yang timbul dari rantai pasokan perusahaan.
Emisi Cakupan 3 biasanya merupakan bagian terbesar dari total emisi karbon perusahaan, tetapi sebagian besar perusahaan hanya melengkapi pelaporan emisi Cakupan 1 dan 2 yang menunjuk pada emisi dari operasi dan pembelian listrik mereka.
Perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik juga jarang mengungkapkan langkah-langkah manajemen, seperti memiliki posisi tertentu yang bertanggung jawab untuk mengawasi masalah-masalah terkait iklim di tingkat dewan, atau memasukkan kinerja perubahan iklim sebagai indikator kinerja utama dalam menentukan remunerasi eksekutif perusahaan.
Metrik Keuangan pun jarang diungkapkan meski itu merupakan inti dari pengungkapan keuangan terkait iklim.
Hanya 16 persen perusahaan Asia-Pasifik yang melaporkan paparan keuangan mereka terhadap risiko fisik dan transisi yang terkait dengan perubahan iklim.
Padahal itu merupakan salah satu titik data paling mendasar yang dibutuhkan oleh investor yang ingin mengintegrasikan pertimbangan iklim ke dalam strategi alokasi investasi mereka.
Selain itu hanya 2 persen perusahaan yang melaporkan dampak risiko dan peluang iklim pada perencanaan keuangan, sementara 1 persen mengintegrasikan rencana transisi mereka ke dalam perencanaan keuangan.
Hal ini menunjukkan bahwa isu iklim masih belum terintegrasi ke dalam praktik manajemen keuangan sehari-hari perusahaan, kata laporan tersebut.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya