Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stoknya Miliaran Ton, Mengapa Belum Ada Karbon Hutan di Bursa IDX?

Kompas.com, 15 Januari 2025, 10:08 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Indonesia akan memulai perdagangan karbon internasional di bursa IDX pada 20 Januari 2025 mendatang. Menteri Lingkungan Hidup menyatakan pada Selasa (14/1/2025) bahwa inisiatif itu akan membantu Indonesia mengurangi emisi sekaligus mendapatkan pendanaan.

Meski stok karbon hutan mangrove Indonesia sendiri 3 miliar ton CO2 ekuivalen, dan total hutan mencapai triliunan ton CO2 ekuivalen, tak ada satu pun proyek yang terdaftar di IDX yang berasal dari sektor kehutanan.

Sejauh yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup, semua proyek yang telah terdaftar dengan total 2,48 juta CO2 ekuivalen berasal dari sektor energi. Hanya satu yang berasal dari energi terbarukan.

Tak adanya sektor kehutanan menarik perhatian. Sebab, sebelum ada perdagangan karbon di bursa, sektor kehutanan telah memulainya lewat mekanisme antar negara, misalnya melalui program Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+).

Peneliti senior Center for International Forestry Research - World Agroforestry (CIFOR - ICRAF), Herry Purnomo, menuturkan bahwa belum adanya sektor kehutanan di bursa karbon itu merepresentasikan kompleksitas pengukuran stok karbon di hutan.

Baca juga: Perdagangan Karbon Internasional di IDX: Baru 1 dari Energi Terbarukan

"Kalau energi, dari fosil ke terbarukan, itu relatif lebih mudah mengukur pengurangan emisinya. Berbeda dengan kehutanan," tutur Herry yang juga guru besar kehutanan di IPB University.

Herry mencontohkan, program konservasi dan restorasi, misalnya, bisa meningkatkan stok karbon. Namun, program itu berlangsung lama dan stok karbonnya pun akan dinamis sesuai kondisi alam dan kebijakan.

"Kalau hutan, sekali direstorasi, belum tentu 10-20 tahun ke depan kondisinya akan sama. Bisa terjadi carbon leakage, misalnya karena kebakaran atau alih fungsi hutan. Berbeda dengan energi yang perubahannya permanen," urainya.

Dilihat dari stakeholder-nya, kehutanan juga lebih banyak. Bukan hanya pemerintah dan industri, tetapi juga masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Mereka harus dilibatkan juga dalam penghitungan stok karbon dan menerima keuntungan.

Karbon sektor energi, menurut Herry, juga punya market lebih besar. Salah satunya karena perusahaan energi yang relatif lebih punya capital investment. Secara teknologi, sektor energi juga lebih matang.

Herry mengatakan, stok karbon yang besar di sektor kehutanan harus dimanfaatkan. "Dari sektor energi yang diperdagangkan di bursa kali ini kan total 2,5 juta CO2 ekuivalen. Itu kalau hutan masih kurang dari 5.000 hektar. Sementara hutan kita luas sekali," urainya.

Ia menilai, Indonesia perlu mengupayakan agar karbon dari sektor kehutanan bisa dijual di bursa. Langkah itu akan melengkapi penjualan lewat mekanisme antarnegara, membuat karbon sektor itu punya market lebih besar.

Baca juga: Indonesia Mulai Perdagangan Karbon Luar Negeri 20 Januari 2025

"Karbon hutan harus dimanfaatkan untuk generate revenue, cari insentif untuk restorasi dan konservasi. PR-nya sekarang adalah melakukan simplifikasi," ungkapnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (15/1/2025).

Salah satunya adalah simplifikasi dalam sertifikasi karbon hutan lewat Sistem Registry Nasional dan Verra Registry yang selama ini dipilih Indonesia. Kompleksitas kehutanan harus dipahami dan disusun kriterianya agar karbon hutan bisa terdaftar di bursa.

"Pemerintah harus bisa fasilitasi," katanya. Menurutnya, banyak upaya reduksi emisi di kehutanan yang skalanya kecil. Misalnya, restorasi mangrove dengan luasan kurang dari 100 hektar. Harus ada mekanisme untuk daftarkan upaya tersebut.

Indonesia sebelumnya telah mendapatkan manfaat ekonomi dari karbon hutan. Pada 2014-2016, Indonesia telah menerima 103,8 juta dollar AS dari Green Climate Fund sebagai performance based payment REDD+.

Indonesia juga telah menerima 156 juta dollar AS dari Norwegia atas kenerhasilan reduksi emisi 31,2 juta CO2 ekuivalen. 2016-2017 dan 2018-2020, Indonesia menerima 100 juta dari Forest Carbon Partnershup Facility dan 70 juta dollar AS dari Bio-CF atas reduksi total 38 juta ton CO2 ekuivalen.

Baca juga: Bagaimana Cara Kerja Perdagangan Karbon?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
LSM/Figur
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
LSM/Figur
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Pemerintah
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
LSM/Figur
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Swasta
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Pemerintah
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Pemerintah
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Pemerintah
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
BUMN
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Swasta
KLH Janji Tindak Tegas Perusahaan yang Picu Banjir di Sumatera Utara
KLH Janji Tindak Tegas Perusahaan yang Picu Banjir di Sumatera Utara
Pemerintah
27 Harimau Sumatera Terdeteksi di Leuser, Harapan Baru untuk Konservasi
27 Harimau Sumatera Terdeteksi di Leuser, Harapan Baru untuk Konservasi
LSM/Figur
Proyek Bioetanol Kurang Libatkan Petani, Intensifikasi Lahan Perkebunan Belum Optimal
Proyek Bioetanol Kurang Libatkan Petani, Intensifikasi Lahan Perkebunan Belum Optimal
Swasta
Perempuan dan Anak Jadi Korban Ganda dalam Bencana Sumatera, Mengapa?
Perempuan dan Anak Jadi Korban Ganda dalam Bencana Sumatera, Mengapa?
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau