KOMPAS.com - Menyusul keluarnya Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris efektif pada 27 Januari 2026, sejumlah pejabat mempertanyakan alasan Indonesia tetap bertahan dalam komitmen tersebut
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan, "AS saja cabut, kenapa kita lanjut?"
Sementara Utusan Indonesia Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menyatakan, "Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi."
Meskipun pertanyaan tersebut sah, sebab Amerika Serikat memang punya tanggung jawab besar dalam pendanaan iklim, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyatakan bahwa pernyataan para pejabat tidak berpihak pada rakyat.
ARUKI menilai, keikutsertaan Indonesia sebenarnya bukan hanya demi menuruti para negara maju, tetapi untuk rakyat Indonesia yang selama ini dirugikan oleh kebijakan yang merusak lingkungan.
"Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian pemerintah terhadap urgensi krisis iklim dan enggannya untuk memprioritaskan agenda iklim," kata Giorgio B Indarto, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Dalam sejarahnya, komitmen Indonesia untuk iklim sudah mendahului Kesepakatan Paris pada 2015 yang kemudian diratifikasi melalui UU No 16 tahun 2016. Tujuh tahun sebelumnya, Indonesia sudah berkomitmen mengatasi krisis lingkungan lewat UU No 32 tahun 2009.
Baca juga: PBB: Penarikan Diri AS dari Kesepakatan Paris mulai 27 Januari 2026
Penarikan diri dari Kesepakatan Paris berarti mengingkari janji pada komitmen sendiri sekaligus wujud ketidakberpihakan pada kalangan rentan. Indonesia selama 2023-2024 mengalami 6827 bencana terkait iklim dan berdampak pada 13 juta orang.
"Pernyataan Bahlil memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengakui dampak krisis iklim yang berbeda. Padahal kelompok rentan telah mengalami triple planetary crisis," ungkap Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul dalam keterangannya pada Minggu (2/2/2025).
Di tengah kuatnya narasi bertahan pada batubara untuk kebutuhan energi dan target ekonomi, ARUKI menilai bahwa pernyataan para pejabat tersebut merupakan wujud minimnya komitmen pada energi terbarukan.
"Pemikiran yang mendasarkan pada kedaulatan dan ketahanan energi pada batubara adalah paradigma yang keliru," kata Syaharani dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
ARUKI meminta pemerintah untuk bukan hanya tetap berada dalam Kesepakatan Paris, tetapi juga serius menangani krisis iklim, salah satunya dengan mempensiunkan batubara.
Pemerintah juga diminta untuk memprioritaskan transisi energi ke terbarukan yang inklusif dan mengedepankan keadilan iklim.
Terakhir, ARUKI meminta pemerintah segera membahas secara partisipatif RUU Keadilan Iklim yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional.
Baca juga: AS Keluar Kesepakatan Paris: Perdagangan Karbon Jalan, JETP Terancam
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya