Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesepakatan Paris demi Rakyat, Indonesia Harus Tetap Tergabung

Kompas.com, 2 Februari 2025, 18:25 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Menyusul keluarnya Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris efektif pada 27 Januari 2026, sejumlah pejabat mempertanyakan alasan Indonesia tetap bertahan dalam komitmen tersebut 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan, "AS saja cabut, kenapa kita lanjut?"

Sementara Utusan Indonesia Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menyatakan, "Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi."

Meskipun pertanyaan tersebut sah, sebab Amerika Serikat memang punya tanggung jawab besar dalam pendanaan iklim, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyatakan bahwa pernyataan para pejabat tidak berpihak pada rakyat.

ARUKI menilai, keikutsertaan Indonesia sebenarnya bukan hanya demi menuruti para negara maju, tetapi untuk rakyat Indonesia yang selama ini dirugikan oleh kebijakan yang merusak lingkungan.

"Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian pemerintah terhadap urgensi krisis iklim dan enggannya untuk memprioritaskan agenda iklim," kata Giorgio B Indarto, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam sejarahnya, komitmen Indonesia untuk iklim sudah mendahului Kesepakatan Paris pada 2015 yang kemudian diratifikasi melalui UU No 16 tahun 2016. Tujuh tahun sebelumnya, Indonesia sudah berkomitmen mengatasi krisis lingkungan lewat UU No 32 tahun 2009.

Baca juga: PBB: Penarikan Diri AS dari Kesepakatan Paris mulai 27 Januari 2026

Penarikan diri dari Kesepakatan Paris berarti mengingkari janji pada komitmen sendiri sekaligus wujud ketidakberpihakan pada kalangan rentan. Indonesia selama 2023-2024 mengalami 6827 bencana terkait iklim dan berdampak pada 13 juta orang.

"Pernyataan Bahlil memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengakui dampak krisis iklim yang berbeda. Padahal kelompok rentan telah mengalami triple planetary crisis," ungkap Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul dalam keterangannya pada Minggu (2/2/2025).

Di tengah kuatnya narasi bertahan pada batubara untuk kebutuhan energi dan target ekonomi, ARUKI menilai bahwa pernyataan para pejabat tersebut merupakan wujud minimnya komitmen pada energi terbarukan.

"Pemikiran yang mendasarkan pada kedaulatan dan ketahanan energi pada batubara adalah paradigma yang keliru," kata Syaharani dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

ARUKI meminta pemerintah untuk bukan hanya tetap berada dalam Kesepakatan Paris, tetapi juga serius menangani krisis iklim, salah satunya dengan mempensiunkan batubara.

Pemerintah juga diminta untuk memprioritaskan transisi energi ke terbarukan yang inklusif dan mengedepankan keadilan iklim.

Terakhir, ARUKI meminta pemerintah segera membahas secara partisipatif RUU Keadilan Iklim yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional.

Baca juga: AS Keluar Kesepakatan Paris: Perdagangan Karbon Jalan, JETP Terancam

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kemenhut Tetapkan Tersangka Penambang Batu Bara Ilegal Bukit Soeharto di IKN
Kemenhut Tetapkan Tersangka Penambang Batu Bara Ilegal Bukit Soeharto di IKN
Pemerintah
2 Ekor Pesut Mahakam Mati Diduga karena Lonjakan Aktivitas Tongkang Batu Bara
2 Ekor Pesut Mahakam Mati Diduga karena Lonjakan Aktivitas Tongkang Batu Bara
LSM/Figur
KLH Akui Belum Tahu Asal Muasal Radioaktif yang Kontaminasi Cengkih Ekspor
KLH Akui Belum Tahu Asal Muasal Radioaktif yang Kontaminasi Cengkih Ekspor
Pemerintah
Jayapura Tetapkan Perda Perlindungan Danau Sentani, Komitmen Jaga Alam Papua
Jayapura Tetapkan Perda Perlindungan Danau Sentani, Komitmen Jaga Alam Papua
Pemerintah
Indonesia Masih Nyaman dengan Batu Bara, Transisi Energi Banyak Retorikanya
Indonesia Masih Nyaman dengan Batu Bara, Transisi Energi Banyak Retorikanya
LSM/Figur
KLH: Cengkih Ekspor Asal Lampung Terkontaminasi Radioaktif dari Pemakaman
KLH: Cengkih Ekspor Asal Lampung Terkontaminasi Radioaktif dari Pemakaman
Pemerintah
PR Besar Temukan Cara Aman Buang Limbah Nuklir, Iodin-129 Bisa Bertahan 15 Juta Tahun
PR Besar Temukan Cara Aman Buang Limbah Nuklir, Iodin-129 Bisa Bertahan 15 Juta Tahun
LSM/Figur
WVI Luncurkan WASH BP 2.0, Strategi 5 Tahun Percepat Akses Air dan Sanitasi Aman
WVI Luncurkan WASH BP 2.0, Strategi 5 Tahun Percepat Akses Air dan Sanitasi Aman
LSM/Figur
Dunia Sepakat Hapus Tambalan Gigi Merkuri pada 2034
Dunia Sepakat Hapus Tambalan Gigi Merkuri pada 2034
Pemerintah
Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan
Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan
LSM/Figur
Pulau Obi Jadi Episentrum Baru Ekonomi Maluku Utara
Pulau Obi Jadi Episentrum Baru Ekonomi Maluku Utara
Swasta
Dari Gaza hingga Ukraina, Alam Jadi Korban Sunyi Konflik Bersenjata
Dari Gaza hingga Ukraina, Alam Jadi Korban Sunyi Konflik Bersenjata
Pemerintah
Cacing Tanah Jadi Sekutu Tak Terduga dalam Perang Lawan Polusi Plastik
Cacing Tanah Jadi Sekutu Tak Terduga dalam Perang Lawan Polusi Plastik
LSM/Figur
Subsidi LPG 3 Kg Diproyeksikan Turun 21 Persen, Jaringan Gas Jadi Alternatifnya
Subsidi LPG 3 Kg Diproyeksikan Turun 21 Persen, Jaringan Gas Jadi Alternatifnya
LSM/Figur
Laut Kunci Atasi Krisis Pangan Dunia, tapi Indonesia Tak Serius Menjaga
Laut Kunci Atasi Krisis Pangan Dunia, tapi Indonesia Tak Serius Menjaga
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau