Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/02/2025, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Program Director Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris harusnya membuat Indonesia semakin kuat dalam mengatasi krisis iklim.

Hal tersebut disampaikan Ashov menanggapi pernyataan Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo yang menyinggung keadilan setelah AS keluar dari Perjanjian Paris di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Hashim membandingkan emisi karbon per penduduk antara AS dengan Indonesia. AS menghasilkan kurang lebih 13 ton karbon per kapita per tahun sedangkan Indonesia menghasilkan 3 ton karbon per kapita per tahun.

Baca juga: PBB: Penarikan Diri AS dari Kesepakatan Paris mulai 27 Januari 2026

Menurut Hashim, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran di AS yang lebih besar dibanding Indonesia, bahkan salah satu negara pencemar terbesar di dunia.

"Kalau AS tidak mau menuruti perjanjian internasional (Perjanjian Paris), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Perjanjian Paris)?" ujar Hashim dalam acara bertajuk ESG Sustainable Forum 2025, Jumat (31/1/2025).

Hashim menyampaikan, Indonesia masih mempelajari lebih lanjut dampak dari keluarnya AS dari Perjanjia Paris. Yang jelas, lanjut dia, masa depan penuh dengan ketidakpastian, utamanya soal transisi energi.

Implikasinya, Indonesia harus merencanakan program pembangunan dengan situasi yang penuh dengan ketidakpastian.

“Indonesia selalu mau menjadi anak baik, the good boy. Tapi, the big boys (anak-anak besar), belum tentu jadi good boy juga, kan?” kata Hashim.

Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Hartawan Michael Bloomberg Rogoh Kocek untuk Badan Iklim PBB

Ashov menilai, pernyataan tersebut keliru dan berbahaya dalam konteks terjebak dalam permainan race to the bottom atau bunuh diri ekologis.

Pasalnya, Perjanjian Paris merupakan kesepakatan lebih dari 195 negara demi demi menghindari dampak menghancurkan dari krisis iklim.

"Indonesia bersama negara lainnya yang masih berkomitmen justru harus semakin kuat berkolaborasi untuk mewujudkan Perjanjian Paris secara berkeadilan," kata Ashov kepada Kompas.com, Sabtu (1/2/2025).

Ashov menuturkan, dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris, emisi dari negara tersebut akan semakin meningkat seiring rencana ekspansi industri minyak dan gas oleh Trump.

Hal tersebut, ujar Ashov, seharusnya menjadi peringatan bagi semakin pentingnya usaha-usaha adaptasi Indonesia.

Baca juga: AS Keluar Kesepakatan Paris: Perdagangan Karbon Jalan, JETP Terancam

Pasalnya, sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap bencana iklim dalam menghadapi krisis iklim.

"Penting bagi Indonesia untuk tidak terjebak dalam atmosfer race to the bottom ini dan terus menyeriuskan langkah-langkah mitigasi," papar Ashov.

Dia menambahkan, dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris, Indonesia perlu berkerja sama dengan negara-negara lain, termasuk dengan skema kerja sama selatan-selatan.

"Untuk memecah kebuntuan usaha bersama mengatasi krisis iklim dan mendorong transisi yang benar-benar berkeadilan, mewujudkan Perjanjian Paris," tutur Ashov.

Baca juga: AS Keluar Perjanjian Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Bisa Terganggu

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

10 Provinsi dengan Deforestasi Terparah Sepanjang 2024, 3 dari Kalimantan

10 Provinsi dengan Deforestasi Terparah Sepanjang 2024, 3 dari Kalimantan

LSM/Figur
AS Keluar dari Perjanjian Paris, Indonesia Harus Lebih Kuat Berkolaborasi

AS Keluar dari Perjanjian Paris, Indonesia Harus Lebih Kuat Berkolaborasi

LSM/Figur
Tak Jawab Akar Masalah, Tanggul Laut Dinilai Bakal Sia-sia

Tak Jawab Akar Masalah, Tanggul Laut Dinilai Bakal Sia-sia

LSM/Figur
Heboh Kebun Sawit dalam Hutan Lindung

Heboh Kebun Sawit dalam Hutan Lindung

Pemerintah
Serba-serbi 'Renewable Energy Certificate' PLN: Kelebihan Bagi Swasta dan Harganya

Serba-serbi "Renewable Energy Certificate" PLN: Kelebihan Bagi Swasta dan Harganya

BUMN
Pemerintah Tegaskan Bangun Tanggul Laut 700 Km, dari Banten sampai Jawa Timur

Pemerintah Tegaskan Bangun Tanggul Laut 700 Km, dari Banten sampai Jawa Timur

Pemerintah
Peluang Dagang Karbon Rp 184 Triliun dari Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove

Peluang Dagang Karbon Rp 184 Triliun dari Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove

Pemerintah
Pengawasan TPA Pembuangan Terbuka sampai Akhir Februari, Sanksi Menanti

Pengawasan TPA Pembuangan Terbuka sampai Akhir Februari, Sanksi Menanti

Pemerintah
YKAN: Emisi CO2 Naik 38 Persen jika Lahan Gambut Dikonversi ke Sawit

YKAN: Emisi CO2 Naik 38 Persen jika Lahan Gambut Dikonversi ke Sawit

LSM/Figur
Ganggang yang Melimpah di Indonesia Ini Calon 'Superfood' Masa Depan

Ganggang yang Melimpah di Indonesia Ini Calon 'Superfood' Masa Depan

LSM/Figur
Berapa Banyak Spesies yang Akan Punah akibat Perubahan Iklim?

Berapa Banyak Spesies yang Akan Punah akibat Perubahan Iklim?

LSM/Figur
Pendanaan Iklim Negara Rentan Meningkat 490 Miliar Dollar AS pada 2030

Pendanaan Iklim Negara Rentan Meningkat 490 Miliar Dollar AS pada 2030

Pemerintah
IESR Nilai Sertifikat REC PLN Tak Dorong Transisi Energi

IESR Nilai Sertifikat REC PLN Tak Dorong Transisi Energi

BUMN
Auriga: Deforestasi Indonesia Tahun 2024 Naik, Kalimantan Terparah

Auriga: Deforestasi Indonesia Tahun 2024 Naik, Kalimantan Terparah

LSM/Figur
AI Bisa Ciptakan 170 Juta Pekerjaan, tetapi Dampak Baiknya Tak Merata

AI Bisa Ciptakan 170 Juta Pekerjaan, tetapi Dampak Baiknya Tak Merata

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau