KOMPAS.com - Program Director Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris harusnya membuat Indonesia semakin kuat dalam mengatasi krisis iklim.
Hal tersebut disampaikan Ashov menanggapi pernyataan Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo yang menyinggung keadilan setelah AS keluar dari Perjanjian Paris di bawah kepemimpinan Donald Trump.
Hashim membandingkan emisi karbon per penduduk antara AS dengan Indonesia. AS menghasilkan kurang lebih 13 ton karbon per kapita per tahun sedangkan Indonesia menghasilkan 3 ton karbon per kapita per tahun.
Baca juga: PBB: Penarikan Diri AS dari Kesepakatan Paris mulai 27 Januari 2026
Menurut Hashim, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran di AS yang lebih besar dibanding Indonesia, bahkan salah satu negara pencemar terbesar di dunia.
"Kalau AS tidak mau menuruti perjanjian internasional (Perjanjian Paris), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Perjanjian Paris)?" ujar Hashim dalam acara bertajuk ESG Sustainable Forum 2025, Jumat (31/1/2025).
Hashim menyampaikan, Indonesia masih mempelajari lebih lanjut dampak dari keluarnya AS dari Perjanjia Paris. Yang jelas, lanjut dia, masa depan penuh dengan ketidakpastian, utamanya soal transisi energi.
Implikasinya, Indonesia harus merencanakan program pembangunan dengan situasi yang penuh dengan ketidakpastian.
“Indonesia selalu mau menjadi anak baik, the good boy. Tapi, the big boys (anak-anak besar), belum tentu jadi good boy juga, kan?” kata Hashim.
Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Hartawan Michael Bloomberg Rogoh Kocek untuk Badan Iklim PBB
Ashov menilai, pernyataan tersebut keliru dan berbahaya dalam konteks terjebak dalam permainan race to the bottom atau bunuh diri ekologis.
Pasalnya, Perjanjian Paris merupakan kesepakatan lebih dari 195 negara demi demi menghindari dampak menghancurkan dari krisis iklim.
"Indonesia bersama negara lainnya yang masih berkomitmen justru harus semakin kuat berkolaborasi untuk mewujudkan Perjanjian Paris secara berkeadilan," kata Ashov kepada Kompas.com, Sabtu (1/2/2025).
Ashov menuturkan, dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris, emisi dari negara tersebut akan semakin meningkat seiring rencana ekspansi industri minyak dan gas oleh Trump.
Hal tersebut, ujar Ashov, seharusnya menjadi peringatan bagi semakin pentingnya usaha-usaha adaptasi Indonesia.
Baca juga: AS Keluar Kesepakatan Paris: Perdagangan Karbon Jalan, JETP Terancam
Pasalnya, sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap bencana iklim dalam menghadapi krisis iklim.
"Penting bagi Indonesia untuk tidak terjebak dalam atmosfer race to the bottom ini dan terus menyeriuskan langkah-langkah mitigasi," papar Ashov.
Dia menambahkan, dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris, Indonesia perlu berkerja sama dengan negara-negara lain, termasuk dengan skema kerja sama selatan-selatan.
"Untuk memecah kebuntuan usaha bersama mengatasi krisis iklim dan mendorong transisi yang benar-benar berkeadilan, mewujudkan Perjanjian Paris," tutur Ashov.
Baca juga: AS Keluar Perjanjian Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Bisa Terganggu
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya