KOMPAS.com - Indonesia disebut tetap melakukan upaya untuk menangani perubahan iklim sesuai dengan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan internasional.
Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq dalam rapat kerja dengan Komisi XII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Hanif menyatakan, Indonesia tetap berkomitmen menangani isu iklim meski Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump telah menarik diri dari Perjanjian Paris.
Baca juga: Indonesia Rugi jika Cabut dari Kesepakatan Paris, Tutup Peluang Pendanaan
Merujuk kepada pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 di Brasil pada November 2024, Hanif mengatakan pihaknya berkomitmen mengambil langkah-langkah menghadapi isu iklim dalam upaya menekan kenaikan suhu Bumi.
"Sehingga ini komitmen akhir yang disampaikan Pak Presiden sampai hari ini, sehingga kemudian pada saat dikontribusi dengan Presiden Trump yang keluar dari Perjanjian Paris, kita masih memegang pada arahan pidato Pak Presiden secara resmi di dalam G20 di Brasil," kata Hanif, sebagaimana dilansir Antara.
Hal itu akan diwujudkan dalam program yang diusung KLH/BPLH pada 2025 merujuk kepada Asta Cita yaitu mendorong kemandirian dalam hal air dan ekonomi hijau, hilirisasi industri berbasis sumber daya alam, serta pembangunan yang berketahanan iklim.
Dia menyampaikan, tema pembangunan lingkungan hidup untuk tahun ini adalah optimalisasi ekonomi sirkular dan nilai ekonom karbon untuk mendorong ketahanan pangan dan energi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
"Ada indikator kinerja utama yang akan kita capai sesuai dengan draf final RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang hari ini menunggu pengesahannya," jelas Hanif.
Baca juga: Kesepakatan Paris demi Rakyat, Indonesia Harus Tetap Tergabung
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan, keluarnya AS dari Perjanjian Paris membuat Indonesia dilema dalam mengembangkan energi terbarukan.
"Saya jujur mengatakan, sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti gendang (Perjanjian Paris) ini," ucap Bahlil dalam acara bertajuk, Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru, di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Komitmen negara-negara di dunia untuk mengembangkan energi baru terbarukan, lanjut Bahlil, berangkat dari komitmen Perjanjian Paris.
Sebagai konsensus dari Perjanjian Paristersebut, hampir semua lembaga keuangan dunia mau membiayai proyek energi hijau. Bahlil mengatakan, mau tidak mau Indonesia mengikuti konsensus bersama tersebut.
Akan tetapi, AS sebagai inisiator dari Perjanjian Paris justru menyatakan mundur setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden.
Baca juga: AS Keluar dari Perjanjian Paris, Indonesia Harus Lebih Kuat Berkolaborasi
Menurut Bahlil, apabila inisiator dari Perjanjian Paris saja mundur, terdapat keraguan bagi Indonesia untuk melanjutkan komitmennya terhadap perjanjian tersebut.
"Yang membuat ketidakpastian ini salah satu di antaranya adalah dinamika politik global. Perjanjian ini kan merupakan konsensus global, kita dipaksa untuk mengikuti itu, padahal baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut," kata Bahlil, sebagaimana dilansir Antara.
Ia menyoroti tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi terbarukan dibandingkan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.
Dengan keluarnya AS sebagai salah satu inisiator dari Perjanjian Paris dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
"Kita jangan sampai terjebak. Makanya kita harus hitung dengan baik. Ini (pengembangan energi baru dan terbarukan) antara gas dan rem, seperti mengelola Covid-19," ucap Bahlil.
Baca juga: PBB: Penarikan Diri AS dari Kesepakatan Paris mulai 27 Januari 2026
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya