Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gambut dan Mangrove Bisa Pangkas 770 Megaton Emisi CO2 di Asia Tenggara

Kompas.com, 5 Februari 2025, 13:16 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Studi terbaru yang diterbitkan di Nature, mengungkapkan bahwa ekosistem gambut dan mangrove menjadi kunci untuk menekan emisi karbon dioksida (CO2) di Asia Tenggara.

Para peneliti menyebut, lebih dari setengah emisi karbon pada penggunaan lahan Asia Tenggara dapat dimitigasi melalui konservasi serta restorasi gambut dan mangrove.

“Melestarikan dan merestorasi ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki cadangan karbon besar di Asia Tenggara, dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun,” kata Peneliti Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER) James Cook University, Sigit Sasmito dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/2/2025).

Baca juga:

Angka tersebut, lanjut dia, setara dengan hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca (GRK) Malaysia pada 2023. Kendati, kedua ekosistem ini hanya menempati 5,4 persen dari luas daratan Asia Tenggara.

Sigit menjelaskan temuan tersebut berdasarkan penelitian terkait perubahan penggunaan lahan pada 2001-2022, yang berkontribusi terhadap emisi GRK.

Tim peneliti menemukan, lahan gambut serta mangrove dapat menjadi solusi alami untuk membantu negara-negara mencapai target nol karbon.

“Namun ketika lahan gambut dan mangrove terganggu, biasanya karena alih fungsi lahan, mereka akan melepas karbon dalam jumlah besar ke atmosfer,” ungkap Sigit.

Lahan Gambut di Indonesia

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wahyu Catur Adinugroho, menyampaikan Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90 persen emisi di Asia Tenggara.

Akan tetapi, Indonesja memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar dengan kegiatab konservasi dan restorasi.

“Karena negara kita memiliki 3,4 juta hektare hutan mangrove dan 13,4 juta hektare lahan gambut,” ucap Wahyu.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, memaparkan ekosistem gambut dan mangrove memiliki karakteristik fisik maupun ekologi yang serupa, terutama pada tanahnya yang jenuh air dan terbatasnya oksigen dalam waktu lama.

Kondisi tersebut, kata Haruni, menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik.

“Sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka," ucap dia.

Baca juga:

Selain itu, lebih dari 90 persen cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah. Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan rentan terhadap pelepasan karbon karena aktivitas manusia dan jika hilang tidak mudah dipulihkan.

Adapun riset tersebut melibatkan peneliti dari Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
Pemerintah
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
LSM/Figur
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Pemerintah
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar 'Langkah Membumi Ecoground 2025'
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar "Langkah Membumi Ecoground 2025"
Swasta
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
BUMN
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
Pemerintah
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
LSM/Figur
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Pemerintah
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
Pemerintah
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
Pemerintah
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
LSM/Figur
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
Pemerintah
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Pemerintah
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Swasta
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau