Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Kompas.com - 11/02/2025, 17:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK ada Revolusi Industri tanpa revolusi-revolusi sebelumnya di tanah Inggris; dari Revolusi Petani (1381) hingga Glorious Revolution (1688).

Di akhir abad 17, angin perubahan berembus kencang tatkala Parlemen Inggris memberangus kekuasaan absolut Raja James dan menjadi pijakan bagi reformasi institusi politik dan ekonomi di sana.

Institusi ekonomi ditata ulang sehingga menciptakan iklim yang cocok dan merangsang semangat inovator dan wirausahawan.

Puncaknya Inggris diguncang temuan besar berupa mesin uap oleh James Watt tahun 1760. Industrialisasi berkobar, ekonomi tumbuh dan berkembang dalam level yang mencengangkan.

Baca juga: Baru Dilantik Jadi Presiden, Trump Langsung Tarik AS Keluar Perjanjian Paris

Dalam Why Nations Fail, Daren Acemoglu dan James A. Robinson bercerita, temuan Watt itu memicu gagasan jenius lain.

Sistem roda gigi "sun and planets" yang diciptakan Watt contohnya berhasil mengonversi energi gerak dari mesin uap menjadi alat-alat lain yang lebih bermanfaat.

Pokok kata, institusi ekonomi inklusif yang lahir, dibangun dan didorong oleh institusi politik yang juga inklusif menciptakan penghancuran kreatif yang bersifat kontinyu dalam sejarah manusia.

Kombinasi tiga hal itu, menurut Acemoglu dan Robinson, terbukti menerbitkan kesejahteraan (kemakmuran) bagi bangsa-bangsa di dunia. Inilah tesis yang mengantarkan keduanya meraih Nobel Ekonomi tahun 2024.

Penghancuran kreatif berhulu pada Joseph Schumpeter. Ini tak lain adalah proses inovasi berkelanjutan yang menyebabkan perubahan ekonomi dan menggantikan produk atau proses yang lama dengan baru.

Sejarah manusia diisi oleh penghancuran kreatif tanpa henti. Inovasi membuat sejarah berlangsung progresif dan kadang sulit dikendalikan, meskipun kata Yuval Noah Harari, kemampuan manusia telah sedikit serupa Tuhan.

Artificial Intelligence, AI dalam sejarah kiwari mengubah jalannya sejarah. Temuan-temuan baru yang berasal dari inovasi manusia cerdas menggantikan yang lama--bisa mengganti sama sekali dan mengubur temuan lama, atau melengkapi dan menyempurnakan temuan yang lebih tua.

Baca juga: AS Keluar Perjanjian Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Bisa Terganggu

Sejarah "invention" seperti busur panah yang lepas bebas dan tak dapat dikendalikan oleh tuannya.

Dari mesin uap, lalu penemuan kereta api, mobil, listrik, pesawat terbang dan seterusnya tak pelak membuat manusia tiba pada peradaban yang mungkin tak terbayangkan dan celakanya intim: Peradaban yang mengeksploitasi energi fosil, yang notabene kotor, sampai batas-batas mengerikan.

Batu bara, minyak bumi dan gas jadi segitiga penopang yang bikin manusia memiliki mobilitas tinggi, tapi juga mendaki puncak ironi: Menyakiti planet yang semula nyaman dan sejuk di zaman pra-revolusi industri menjadi bumi yang kian mendidih.

Pada 2024, emisi karbon (CO2) yang dimuntahkan ke atmosfer akibat eksploitasi energi fosil ditaksir menembus 37,4 miliar ton.

Total emisi karbon energi fosil dan sumber lain menyumbang 41,6 miliar ton CO2, naik satu miliar ton CO2 dibandingkan tahun 2023.

Emisi karbon mayoritas disumbangkan oleh negara maju--yang identik dengan sejahtera atau makmur dalam tesis Acemoglu dan Robinson--itulah yang harus paling disalahkan atas makin panasnya suhu bumi pada 2024 yang meloncat di atas 1,5 derajat Celcius dibandingkan suhu masa pra-revolusi industri.

Negara maju paling bertanggungjawab karena mereka yang paling banyak menggunakan energi fosil; dari minyak, gas hingga batu bara.

Namun negara berkembang dan negara miskin juga ikut menanggung salah meskipun tak sebesar negara maju.

Dari sepuluh besar kontributor emisi karbon tahun 2023, enam negara adalah negara maju. Sisanya adalah India (3), Indonesia (6), Iran (7), dan Arab Saudi (10). Empat negara ini wajib "eling lan waspada".

Arab Saudi, sang petrodolar, contohnya merupakan negara kaya dan penduduknya sejahtera, tapi tidak memiliki institusi politik dan ekonomi yang inklusif sebagaimana disebut Acemoglu dan Robinson.

Negara monarki itu ditata oleh institusi yang ekstraktif, namun sejahtera berkat "emas hitam" yang berada di perut bumi Saudi.

Demikian juga ekonomi Republik Iran yang bergantung pada minyak, komoditas dengan cadangan terbukti nomor empat di dunia. Adapun cadangan terbukti gas alam milik Iran nomor empat di dunia (detik.com, 14 April 2024).

Baca juga: Lapisan Es Greenland Retak Sangat Cepat karena Krisis Iklim

Adapun India, kontributor emisi karbon nomor tiga dunia, rakus batu bara. Badan Energi Internasional (IEA) menaksir, India mengonsumsi batu bara lebih tinggi daripada konsumsi gabungan Uni Eropa dan Amerika Serikat tahun 2024, yaitu sebesar 1,3 miliar ton. Ini level yang menyamai rekor China--negara nomor satu pelahap batu bara.

Centang perenang emisi karbon membawa kita ke bulan penting dalam mitigasi dan aksi iklim. Bulan Februari ini adalah tenggat bagi negara-negara yang terikat dalam Perjanjian Paris 2015 untuk memperbarui rencana iklimnya secara lebih ambisius.

Namanya nationally determined contribution (NDC), yakni komitmen negara-negara tersebut untuk mengurangi emisi karbon dalam lima tahun setelah target awal dipancangkan.

Semula negeri kita menargetkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan sokongan luar negeri.

Pada 2022, ambisi NDC tadi dinaikkan menjadi 31,89 persen dengan ikhtiar mandiri serta 43,20 persen dengan bantuan internasional.

Dalam sepuluh tahun Pemerintahan Joko Widodo, ada upaya memotong emisi GRK, meskipun Indonesia tidak seradikal mayoritas negara yang peduli krisis iklim saat menargetkan nol emisi tahun 2060 mendatang--lebih lambat sepuluh tahun.

Seharusnya rute yang diambil Jokowi itu diteruskan oleh penggantinya, Presiden Prabowo Subianto.

Namun, mungkinkah target NDC Indonesia akan dinaikkan saat pemerintah memangkas anggaran besar-besaran hingga Rp 306,6 triliun demi program andalan, Makan Bergizi Gratis?

Ada sedikit kabar gembira. Sekjen Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyatakan, pada tahun 2024, Indonesia sanggup menurunkan emisi GRK di sektor energi mencapai 147,61 juta ton CO2 ekuivalen. Pencapaian ini melampaui target 142 juta ton.

Ini seharusnya membuat pemerintahan hasil Pemilu 2024 ini lebih optimistis dalam menyusun NDC yang baru.

Konteks geopolitik memang berubah. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris, dan keputusan itu berlaku efektif tahun depan.

Ini berarti target pemangkasan emisi GRK sebesar 61-66 persen pada tahun 2035 yang dipancangkan Joe Biden, gulung tikar.

Baca juga: 2024 Jadi Tahun Bencana akibat Krisis Iklim, Banjir Bandang hingga Kebakaran Hutan

Presiden asal Partai Republik yang menerbitkan segepok keputusan eksekutif yang kontroversial dan menyerang akal sehat itu sedang melawan sejarah: Kembali ke energi fosil dan alergi berat dengan energi terbarukan.

Namun, Indonesia tak boleh gentar walaupun masa depan pembiayaan transisi negeri lewat Just Energy Transition Partnership (JETP) agak terganggu karena AS semasa Biden berjanji menggelontorkan donasi bantuan.

Saat ini komitmen aksi iklim tergantung kelincahan Indonesia dalam menggalang kerja sama-kerja sama bilateral.

Lewat Badan Pembangunan Perancis (AFD), Uni Eropa dan Perancis memberi hibah senilai Rp 249 miliar untuk membantu transisi energi Indonesia (Bisnis.com, 5 Februari 2025).

Fasilitas bantuan semacam ini agak melegakan di tengah arus balik kampanye anti-perubahan iklim yang ditabuh Donald Trump.

Kalau tidak mampu menyusun target NDC seambisius Brasil, yakni memangkas gas GRK sebesar 66 persen pada 2035, boleh pun serealistis target NDC Emirat Arab tahun 2035, yaitu 47 persen.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, sebanyak 98,86 persen dari 2.107 bencana yang terjadi sepanjang adalah bencana hidrometeorologi. Sisanya, 1,14 persen bencana geologi.

Meski turun drastis dibandingkan 2023, bencana hidrometeorologi jelas-jelas mengabarkan kepada negeri kita untuk lebih serius memitigasi dan melaksanakan iklim.

Kita tak bisa menunggu lantaran mudharat ekonomi dan lingkungannya sangat besar.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Jakarta Utara Disiapkan Jadi Contoh Pengelolaan Sampah di Indonesia

Jakarta Utara Disiapkan Jadi Contoh Pengelolaan Sampah di Indonesia

Pemerintah
Eksplorasi Metode Konversi Etanol ke Bensin Buka Potensi Energi Hijau Indonesia

Eksplorasi Metode Konversi Etanol ke Bensin Buka Potensi Energi Hijau Indonesia

LSM/Figur
Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Pemerintah
MIND ID Grup Ubah Sampah Plastik Jadi Media Tanam di Fasilitas Nursery

MIND ID Grup Ubah Sampah Plastik Jadi Media Tanam di Fasilitas Nursery

Swasta
Ketika Presiden AS Ikut Campur Urusan Sedotan Plastik...

Ketika Presiden AS Ikut Campur Urusan Sedotan Plastik...

Pemerintah
Teknologi dan Infrastruktur Tak Cukup untuk Capai Target Emisi 2050

Teknologi dan Infrastruktur Tak Cukup untuk Capai Target Emisi 2050

LSM/Figur
Negara Pencemar Terbesar Dunia Lewatkan Tenggat Waktu Target Iklim

Negara Pencemar Terbesar Dunia Lewatkan Tenggat Waktu Target Iklim

Pemerintah
Kebijakan dan Tujuan Lingkungan Ihwal Sampah Plastik Belum Selaras

Kebijakan dan Tujuan Lingkungan Ihwal Sampah Plastik Belum Selaras

LSM/Figur
Investor Pilih Label Hijau, Kabar Baik Sekaligus Alarm Greenwashing

Investor Pilih Label Hijau, Kabar Baik Sekaligus Alarm Greenwashing

Swasta
Minuman dalam Kemasan Plastik Kecil Paling Berbahaya bagi Lingkungan

Minuman dalam Kemasan Plastik Kecil Paling Berbahaya bagi Lingkungan

LSM/Figur
UNICEF: 100 Kematian Anak per Hari di Asia Timur Terkait Polusi Udara

UNICEF: 100 Kematian Anak per Hari di Asia Timur Terkait Polusi Udara

LSM/Figur
Australia Suntik Investasi Rp 130 Miliar untuk Energi Terbarukan hingga Pengelolaan Limbah

Australia Suntik Investasi Rp 130 Miliar untuk Energi Terbarukan hingga Pengelolaan Limbah

Pemerintah
Indonesia Jangan Muram, Kejar Ketertinggalan lewat Riset Biodiversitas

Indonesia Jangan Muram, Kejar Ketertinggalan lewat Riset Biodiversitas

LSM/Figur
Guru Besar IPB: Limbah Cair Pabrik Sawit Punya Nilai Ekonomi Jika Diolah

Guru Besar IPB: Limbah Cair Pabrik Sawit Punya Nilai Ekonomi Jika Diolah

LSM/Figur
Cek Kesehatan Gratis Dimulai, Limbah Medis Perlu Serta Jadi Perhatian

Cek Kesehatan Gratis Dimulai, Limbah Medis Perlu Serta Jadi Perhatian

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau